Ilustrasi oleh Bagus Hariadi/Jawa Pos |
Sudah hampir pukul sebelas malam. Tempat ini adalah bagian
terburuk dari pusat kota; sampah dan anak-anak gelandangan berserak di trotoar.
Di depanku seorang bajingan kroco melangkah mabuk, melewati jembatan, berjalan
dengan batang-batang kaki goyah ke arah deretan gedung tua. Aku memperlambat
langkahku di belakangnya, sampai ia berbelok ke lorong yang memanjang di antara
gedung-gedung, tempat para pelacur berjaga di sudut-sudut remang.
Setelah ia tak ada di depanku, aku kembali mempercepat
langkah. Ada gundukan sampah di dekat perempatan dan ada setangkai mawar
tercampak di atas gundukan sampah itu. Mungkin seorang perempuan baru saja
marah kepada kekasihnya dan mencampakkan bunga pemberiannya di gundukan sampah.
Beberapa langkah dari gundukan itu, di dekat tiang lampu dan
sebatang tanaman yang meranggas, dua orang perempuan, masing-masing dengan
sepatu kets dan celana jins biru ketat, berdiri saling berhadapan. Mereka
seumuranku. Satu orang terlihat kekar dengan potongan rambut di atas tengkuk,
yang satu lagi rambutnya lurus sebahu dan disemir agak pirang. Si pirang
melihat bunga dan melangkah ke arah gundukan sampah dan memungut bunga yang ada
di sana.
“Si cantik yang malang,” katanya. “Aku akan merawatmu.”
Ia mendekap bunga merah itu di dadanya, seperti mendekap
bayi yang mendekati ajal. Aku hampir menabraknya saat ia kembali ke tempatnya
berdiri semula; bahu kami bersenggolan.
Di perempatan aku mengambil jalan ke kanan dan lima puluh
meter kemudian langkahku terhalang oleh dua lelaki mabuk yang sedang bertengkar
di depan warung tempat mereka minum. Beberapa orang mengerumuni mereka.
Dua-duanya aku kenal, Kisworo dan Slamet, para kroco yang selalu ribut ketika
mabuk.
Aku berhenti sebentar di tengah kerumunan, memperhatikan dua
pemabuk itu. Pemilik warung minum mengusir mereka jauh-jauh. Dua pemabuk
bergeser beberapa langkah dan melanjutkan pertengkaran mereka di depan rumah
makan yang sudah tutup. Aku beringsut di tengah orang-orang yang ikut bergeser
menonton mereka. Lalu mataku bertatapan dengan mata Kisworo; pada saat yang
sama Slamet melepas sabuknya dan menghajar kepala lawan tengkarnya sekeras
mungkin. Kisworo limbung dan kemudian tersungkur, kepalanya membentur pintu
rumah makan dengan tulisan “Pengamen dilarang masuk.” Itu pemandangan biasa di
kalangan para kroco. Aku meninggalkan kerumunan dan masuk ke gang kecil sebelum
ujung jalan.
Lelaki itu duduk di ruang tamu ketika aku tiba di rumahnya.
Wajahnya keriput dan pucat dan sangat tua. Aku mempercayainya karena ibuku
mempercayainya. Ibuku mengatakan bahwa lelaki itu sudah pernah mati dua kali
dan selalu hidup lagi sebelum jenazahnya dibawa ke tempat pemakaman. Kurasa
karena itu ia sakti. Dua kali ia menyusup ke langit. Pasti ia berhasil mencuri
rahasia-rahasia yang tersimpan di sana tentang nasib setiap orang di muka bumi.
Dua kali aku menemani ibuku datang ke rumah lelaki tua ini.
“Saya hidup berdua saja dengan anak saya,” kata ibuku pada kedatangannya yang
pertama. “Ayahnya seorang bajingan, minggat dari rumah sejak ia bayi dan saya
harus mengurusinya sendiri.” Umurku sembilan tahun saat itu. Ibu ingin kiosnya
di pasar ramai pembeli.
Sekarang aku datang sendiri menemuinya. Ini yang ketiga.
Yang pertama lima tahun lalu ketika umurku dua puluh satu. Waktu itu aku datang
kepadanya karena menginginkan hidup yang lebih terang. Ia menemuiku di kamarnya
dan mengatakan bahwa aku akan bertemu dengan seorang lelaki yang terpesona pada
tubuhku dan pertemuan itu akan mengubah jalan hidupku. Aku mengucapkan terima
kasih kepadanya dan sejak itu aku suka memandangi tubuhku saat sendirian. Ibuku
sering tak sabar menunggu aku keluar kamar jika kami hendak pergi bersama.
“Kau lama sekali,” kata ibu suatu hari. “Apa saja yang kau
lakukan, Nita?”
“Sebentar lagi selesai, Ibu,” jawabku.
“Apa yang kau lakukan?”
“Menyisir rambut, dengan cara yang benar, mengikuti petunjuk
cara menyisir yang benar.”
“Sekali-sekali kau mengikuti petunjukku, Nita. Jangan
kelamaan di kamar.”
Aku suka memandangi tubuhku di dalam kamar, meneliti diri
sendiri di depan cermin tinggi yang kubeli sejak aku suka memandangi tubuh:
memandangi sosok di cermin seperti mengamati seorang putri yang perlu
diselamatkan dari dunia gelapnya. Kepalaku sibuk menduga-duga lelaki macam apa
yang akan terpesona pada tubuhku dan mengubah jalan hidupku.
Sebetulnya sejak payudaraku mulai mengembang, sebelum aku
pergi ke rumah lelaki tua itu, pikiranku juga mengembang dan sudah mulai sibuk
menduga-duga. Maksudku, setiap ada teman lelaki yang mendekatiku, dan aku
menyukainya, aku selalu berpikir apakah ia pasangan yang akan membuat hidupku
berbahagia selama-lamanya. Namun kebanyakan dari mereka sangat mengecewakan,
dan, jujur saja, tidak cukup layak.
Sampai aku selesai sekolah, tak ada satu pun dari mereka
yang benar-benar bisa membuatku yakin bahwa ia adalah pasangan yang kuinginkan.
Karena itulah aku menemui lelaki tua itu untuk menyampaikan keinginanku dan ia
meramalku seperti itu dan aku semakin suka berdiri di depan cermin, membedaki
muka dan memulaskan gincu di bibir dan menggariskan celak di tepi-tepi mata.
Bibirku merah menyala dan aku memandanginya di cermin seperti mengagumi kelopak
mawar yang sedang merekah. Beberapa saat aku mengagumi kelopak mawar itu dan
kemudian menghapus lagi semua rias dan wajahku kembali polos.
Lalu kuturunkan pandanganku ke dua bukit di dada, berhenti
sejenak di sana untuk mengagumi bukit-bukit itu. Turun lagi pelan-pelan,
menyapu bayangan telanjang di permukaan cermin sampai ujung kaki. Aku senang
melakukannya dan sesekali bergeser dari depan cermin ke ambang jendela,
memandangi jalanan dan tanah lapang, dan siang itu aku melakukannya. Lelaki tua
itu mengatakan akan ada lelaki yang tertarik pada tubuhku. Ia tidak memberi
tahu seperti apa lelaki itu dan kapan orang itu lewat untuk menjumpai keindahan
tubuhku. Maka yang kulakukan adalah menaruh tubuh telanjangku di ambang jendela
dan menunggu lelaki itu melintas. Hampir setiap hari aku menaruh tubuhku di
ambang jendela, menunggu perubahan nasib, menunggu lelaki yang akan membawaku
ke dunia terang.
Rumah ibuku terletak di tempat yang paling tinggi di daerah
bukit. Jalanan di bawah tampak seperti seutas garis berkelok-kelok. Di ujung
jalan itu ada sumur umum dan kami mengambil air dan mandi di sana. Aku
menemukan lelaki yang mengubah jalan hidupku di semak-semak dekat sumur umum
itu, pada pukul sembilan pagi. Umurku 23 saat itu dan aku sedang hendak mandi
dan tak sengaja melihat gerumbul semak-semak bergerak-gerak.
“Kau suka mengintip perempuan mandi?” kataku ke arah
semak-semak.
Lelaki itu menampakkan dirinya, membeku beberapa saat di
tempatnya berdiri. Aku tidak mengenalnya dan baru pertama kali itu melihatnya.
Lalu ia memandangiku, lalu menoleh-nolehkan kepalanya mengamati sekeliling dan
kembali memandangiku. Aku membusungkan dadaku, seperti menantangnya.
“Beranimu hanya mengintip perempuan mandi,” kataku lagi.
Sekarang ia tersenyum, sedikit kurang ajar.
“Aku juga berani merampok bank,” katanya.
“Jadi, kau sembunyi di balik semak-semak itu untuk merampok
bank?” Ia menyeringai.
“Kau pasti tidak percaya,” katanya. “Perempuan selalu tidak
percaya.”
“Aku percaya,” kataku. “Setiap hari aku melihat anak-anak
kecil bersembunyi di balik semak-semak dan aku percaya mereka sedang merampok
bank.”
Ada suara motor di kejauhan. Lelaki itu mendongakkan kepala,
melihat langit di belakangku.
“Kau mandilah,” katanya. “Aku akan menunggumu di warung sana
itu.” Tangannya menunjuk ke warung di tepi sungai, tempat makan para sopir dan
kernet angkutan umum.
“Oh, itu restoran yang bagus,” kataku. “Para perampok bank
selalu menunggu perempuan di sana.”
“Mandilah dulu,” katanya. Dan ia berjalan meninggalkanku.
Aku mandi cepat-cepat dan kemudian berjalan agak berlari
menuju rumah dan mencoba beberapa pakaian di kamar, agak lama di depan cermin
untuk memilih gaun. Rasa-rasanya tidak ada yang tepat. Agak gugup juga saat
memulas bibir dan merias wajah dan menghapusnya lagi; aku merasa siang itu
tidak ada yang tepat.
Satu jam kemudian aku sudah berdiri di seberang jalan depan
warung tempat ia menungguku. Kulihat lelaki itu meneguk tehnya dan berdiri
mengulurkan uang kepada pemilik warung dan kemudian menyeberang jalan
menemuiku.
“Kita jalan-jalan?” katanya.
“Aku harus kerja,” kataku.
“Astaga! Hebat sekali. Apa pekerjaanmu?”
“Bukan urusanmu.”
Sebuah angkutan umum yang bobrok melambatkan jalannya di
depan kami. Kernetnya menyebutkan,
“Pasar Ya’ik?” dan lelaki di sebelahku
melambaikan isyarat tidak.
Jalanan berkilau pada siang hari, matahari musim kemarau
mengubah segalanya menjadi menyilaukan. Kulihat lelaki itu menunjukkan tampang
seolah-olah sedang berpikir keras
“Kau sendiri kenapa mendekam di semak-semak?” tanyaku.
“Selain untuk merampok bank.”
“Bukan urusanmu,” katanya.
“Urusanku,” kataku. “Aku hendak mandi dan ada tikus got
mengendap-endap di semak-semak untuk mengintip aku mandi. Itu urusanku.”
Ia semakin menunjukkan tampang sedang berpikir keras, dan
sekarang tampak sangat tersiksa.
“Sebetulnya aku mengikuti anjuran temanku,” katanya, “tetapi
ia berpesan agar aku tutup mulut.”
Di kejauhan aku melihat sebuah angkutan umum bergerak ke
arah kami; kulambaikan tanganku ketika ia sudah dekat untuk menghentikannya.
Mobil itu sudah hendak menepi di depan kami, tetapi lelaki di sebelahku membuat
isyarat tangan agar ia terus saja berjalan.
“Kenapa kau menjengkelkan?” kataku. “Aku harus berangkat
kerja.”
“Kupikir kau ingin mendengar rahasia kenapa aku ada di
semak-semak,” katanya.
“Tidak perlu lagi.”
“Sayang sekali, padahal aku sudah berpikir untuk
menyampaikan rahasia itu.”
“Ya, sudah cepat katakan.”
“Sabarlah. Kenapa perempuan selalu tidak sabar?”
“Sebab lelaki maupun tikus got sama-sama menjengkelkan.”
Ia mengangguk-angguk.
“Sekarang aku berubah pikiran lagi,” katanya. “Kelihatannya
kau tidak akan cocok menjadi sekretaris pribadiku.”
“Lagipula aku tidak melamar pekerjaan kepadamu,” kataku.
“Ya, aku tahu, sebab kau memiliki pekerjaan hebat. Kau pasti
seorang bintang film. Tidak akan cocok menjadi perawat kesehatan.”
Seorang berandal kecil menggeber motornya di depan kami;
motor itu tidak berlari kencang, tetapi suara knalpotnya membuatku ingin
membenamkan pengendaranya ke sumur umum. Lalu sebuah angkutan umum berhenti di
depan kami. Lelaki itu naik.
“Kau mau ke mana?” tanyaku.
“Naiklah,” katanya. “Kuantar kau ke tempat syuting.”
Kami turun di depan restoran di Jalan Siliwangi. Ia
mempersilakan aku masuk. “Ini restoran kesukaan para bintang film,” katanya.
Ini kali pertama aku masuk restoran. Ia memilih meja di
sudut ruangan dekat jendela. Seorang pelayan mendatangi meja kami. “Berikan
makanan terbaik kalian untuk nona ini. Dia seorang bintang film,” katanya.
Pelayan itu menyebutkan beberapa menu makanan.
“Apa saja, pokoknya kau pilihkan yang paling enak untuk nona
ini,” katanya lagi. “Apa perlu kuulangi lagi bahwa nona ini seorang bintang
film?”
“Jadi, apa pekerjaanmu?” tanyaku setelah pelayan itu
meninggalkan meja kami.
“Mengintip perempuan mandi,” katanya.
“Berarti kau memang perlu sekretaris pribadi.”
“Ya, dan ia harus pandai merawat kesehatan, karena
kadang-kadang aku mendapatkan luka. Kau mau melihat luka-luka di tubuhku?”
Tangannya sudah bergerak hendak membuka kancing baju.
“Tidak usah,” kataku. “Tidak ada pentingnya. Jadi, apa
pekerjaanmu, kau belum menjawab yang sebenarnya.”
“Merampok,” katanya. “Kau pikir aku ini buruh pabrik
benang?”
Ia benar-benar menjengkelkan, tetapi aku merasa ia teman
bicara yang menyenangkan. Kami menikmati makanan yang disajikan oleh pelayan.
Aku berlagak sudah terbiasa dengan makanan-makanan lezat. Ia memanggil pelayan
setelah kami selesai makan.
“Mana majikanmu?” katanya.
“Sedang di dalam, Pak,” kata si pelayan.
“Panggilkan dia. Sudah lama aku tidak bicara dengan dia.”
Si pelayan masuk dan beberapa waktu kemudian keluar lagi
bersama seorang lelaki Tionghoa. Lelaki teman makanku bangkit dari kursinya
menemui si majikan Tionghoa. Mereka bicara berdua dan kulihat si majikan
mengangguk-angguk sopan, sikapnya takzim sekali. Kami keluar dari restoran itu
dan berjalan melewati jajaran toko-toko di sepanjang trotoar.
“Kau selalu bisa makan enak dengan cara seperti itu?”
tanyaku.
“Ia teman baik, semua pemilik restoran di kota ini teman
baik,” katanya.
“Aku tahu. Tampak sekali ia bahagia bertemu denganmu.”
“Aku bilang ia kelihatannya orang baik, punya keluarga yang
baik, dan mereka tentu lebih senang jika ia panjang umur dan tetap memiliki
kepala.”
“Kau bilang begitu kepadanya?”
Ia melangkah ke depanku dan membalikkan badan dan sekarang
kami berhadap-hadapan. Matanya menatap mataku dan tangannya meraih kalung di
leherku, menariknya dan membuangnya ke saluran air di samping trotoar.
“Seorang bintang film tidak pantas memakai kalung imitasi,”
katanya. Lalu ia menggandeng tanganku ke toko emas, menyuruhku menunggu di
depan toko dan tak lama setelah itu ia keluar dan memasangkan di leherku kalung
berbandul hati, menyematkan di jari manisku cincin bermata intan, dan memintaku
menyematkan cincin di jari manisnya. Siang itu kami bertunangan di trotoar.
“Apa lagi yang kau lakukan?”
“Menjadi Zorro,” katanya. Ditunjukkannya kepadaku topengnya.
Selain kalung di leherku dan dua cincin di jari manis kami,
ada satu kalung dan satu cincin lagi dan dua gelang. Ia mengatakan untuk ibuku,
tetapi sejak hari itu aku selalu bersamanya dan tidak pulang ke rumah. Kalung
dan gelang dan cincin yang tidak kupakai kuberikan seminggu kemudian kepada
lelaki tua yang meramal nasibku. Aku datang menemuinya bersama kekasihku.
“Dia yang datang kepadaku dan mengubah jalan hidupku,”
kataku, memperkenalkan kekasihku kepada si tua.
Dua tahun aku menikmati kehidupan yang menyenangkan bersama
Zorro yang kutemukan di gerumbul semak-semak. Kami merampok dan sembunyi dari
kejaran dan pada akhir Februari mereka menyudahi kebahagiaan kami. Ia mati di
pangkuanku dengan tubuh biru.
Mereka memikatnya dengan perempuan, lalu kami bertengkar,
dan ia pergi dariku. Seminggu kemudian ia datang lagi kepadaku dengan tubuh
membiru. Perempuan itu meracunnya dan aku tahu siapa yang berada di
belakangnya.
Aku sudah bersiap mengamuk ketika ia datang malam itu
setelah seminggu meninggalkanku, tetapi ia berjalan gontai dan wajahnya tampak
menahan sakit.
“Aku datang untuk minta maaf kepadamu,” katanya. “Kau
malaikatku.”
Ia terengah-engah. Kuseka wajahnya yang biru dan kupapah ia
ke kursi. Ia duduk, menyeringai menahan nyeri, mengeluarkan dari saku dalam
jaketnya sebotol minuman, dan mengumpulkan sisa tenaga untuk menenggak minuman
di dalam botol tersebut. Sekujur tubuhnya gemetar saat ia menghabiskan isi
botol. Ditaruhnya botol itu di meja. Matanya menatapku dan seluruh kesakitannya
seperti berpindah kepadaku melalui sorot matanya. Tangannya yang biru menyentuh
pipiku.
“Segalanya memburuk, tapi aku baik-baik saja,” kataku.
Ia menangis.
“Maafkan aku telah merusak hubungan kita,” katanya.
Aku menggeleng, tak mampu mengucapkan apa pun lagi saat ini.
Lalu kuusapkan tanganku membelai kepalanya, mencium dahinya, mengusap seluruh
tubuhnya. Ia gemetar.
“Aku selalu mencintaimu,” katanya.
Aku mengangguk. Dan ia mati malam itu di pangkuanku.
Sekarang aku menemui lagi lelaki tua itu, sendirian. Ia
menyalakan rokoknya, mengisapnya kuat-kuat, dan menghembuskan asapnya dengan
wibawa yang membuatku yakin bahwa aku bisa membalas dendam atas kematian
kekasihku.
“Buatlah para bajingan itu jatuh cinta kepadaku, buat mereka
merengek untuk menikmati tubuhku, dan pasangkan ular di sini,” kataku. Aku
menunjuk liangku. “Mereka harus mati saat menikmati tubuhku.”
“Kau hendak melawan orang yang berkuasa?” katanya.
“Aku tak peduli,” kataku.
Ia menggeleng.
“Aku tidak bisa,” katanya.
“Dulu ada perempuan yang begitu,” kataku lagi.
Ia memandangiku dengan mata cekungnya. Aku yakin ia bisa.
Aku percaya kepadanya karena ibuku mempercayainya. Ia sudah dua kali mati dan
kembali lagi ke bumi dengan membawa rahasia-rahasia langit. ***
A.S. Laksana, lahir di Semarang, 25 Desember 1968.
Dia sastrawan, kritikus sastra, dan wartawan. A.S. Laksana belajar bahasa
Indonesia di IKIP Semarang dan ilmu komunikasi di Fisipol Universitas Gadjah
Mada, Jogjakarta. Pernah menjadi wartawan Jawa Pos, Detik, Detak,
dan Tabloid Investigasi. Selanjutnya, ia mendirikan dan mengajar di
sekolah penulisan kreatif Jakarta Writing School. Kumpulan cerita pendeknya
yang berjudul Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004) terpilih sebagai
buku sastra terbaik 2004 versi Majalah Tempo. Karya lainnya, Cinta
Silver, novel adaptasi dari film Cinta Silver (Gagas Gasmedia, 2005)
(lakonhidup.wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar