Jadi Seniman Bak Air Mengalir, Abu Bakar Sumber Inspirasi
Sumber Foto |
Laporan: I Wayan Widyantara
Darah seni Putu Satria Kusuma sebenarnya sudah terlihat saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Semakin dewasa, bakatnya semakin terasah. Tak cukup sebagai seniman panggung, tapi juga penulis buku.
Sebenarnya tidak sulit menemukan rumah Putu Satria Kusuma. Hanya saja, karena nomor rumah warga di jalan Gempol, Banyuning, Singaraja, dibikin acak, agak sedikit menyulitkan Jawa Pos Radar Bali melacak kediaman seniman kondang Bali ini. Beruntung rezeki anak saleh, koran ini akhirnya berhasil menemukan rumah bertembok bata warna merah dan gerbang besi bercat putih, nomor 85, kediaman Putu Satria Kusuma. Tepat saat tiba di depan rumah, Putu Satria Kusuma membuka pintu kamar dan bergegas membuka gerbang rumahnya.
Sang seniman kemudian mengajak koran ini masuk ke dalam ruang kerjanya. Ruang kerjanya tidak begitu luas. Ada tiga buah kursi tamu dan meja. Foto tokoh sastra, seperti W.S Rendra dan beragam lukisan tampak menempel di dinding ruang kerjanya. Sebuah komputer yang menjadi teman setianya dalam berkarya terlihat di pojok ruangan.
Tak Sungkan Berguru ke Seniman Besar
Ruangan tersebut disesaki buku-buku tebal dan tipis koleksinya. “Investasi saya lebih banyak ke buku. Silakan baca-baca dulu,” ujarnya kemudian bergegas ke dapur mengambil air mineral dalam gelas.
Gayanya begitu energik. Gerak langkah kakinya tak kalah cepat meskipun usianya tak lagi muda dan baru seminggu lalu (28 Maret) berulang tahun ke-54. Putu Satria Kusuma sendiri merupakan pejantan tangguh yang lahir 28 Maret 1963 silam di Kota Singaraja. Di usianya yang memasuki setengah abad, kekonsistensinya dalam berkarya tak perlu diragukan lagi. Ia adalah seorang penulis naskah, sutradara dan pembina aktor. Berbagai tulisan juga dia hasilkan mulai dalam bentuk cerpen, puisi hingga esai. Masih kurang? Dia juga seorang filmmaker.
Sejumlah karyanya bahkan telah memenangi berbagi kompetisi film tingkat regional dan nasional. Rahasia energik Putu Satria Kusuma pernah dibeber teman sesama seniman Singaraja, Made Adnyana Ole dalam sebuah buku berjudul Cupak Tanah. “Siapapun yang berteman dengannya (Satria), akan sulit menampik bahwa jiwa teater akan selalu memancar dari gerak laku dan kata-katanya. Setiap hari, di mana saja, dia sangat ekspresif,” tulis Made Adnyana Ole. Saat wawancara berlangsung, tiba-tiba handphone perekam koran ini diambil lalu diletakan di dekat bibirnya.
Tampak seperti penyanyi yang sedang bernyanyi di atas panggung tujuannya tentu baik. Agar apa yang Ia bicarakan terekam dengan baik dan jelas. Nada bicaranya yang meledak-ledak, tubuhnya selalu bergerak, tak bisa diam. Sebenar berdiri menunjukkan karyanya, sebentar duduk kembali. matanya memancarkan keseriusan di setiap kata yang dia ucapkan. Begitu juga gerak tangan yang mencoba menggambarkan sesuatu, sesuai yang diucapkan. Sang seniman semasa kecil tinggal di Denpasar. Mulai dari bangku SD hingga SMA. Tepatnya, dia tinggal di kawasan Jalan Trijata, Denpasar.
Sempat kuliah sebentar di Denpasar, Putu Satria Kusuma justru menamatkan pendidikan S1-nya di Kota Singaraja. Semasa SD, dia pernah ikut drama tari (sendratari). “Tapi, saya nggak menari. Peran saya selalu raksasa, karena tubunya waktu itu tinggi gede,” ungkapnya tertawa. Nah, sebelum masuk ke dunia seni teater, Satria mengaku awalnya suka dengan bidang menulis, seni sastra. Hobi itu dia lakoni sejak duduk di bangku SMA. Dia pun makin kreatif menulis. Ide untuk menulis kreatif, dia dapatkan setelah membaca di salah satu koran.
“Saya kemudian belajar menulis tanpa bimbingan siapapun. Pertama kali saya menulis di majalah dinding,” kenangnya. Dalam waktu yang bersamaan, Satria suka mendengarkan sebuah tayangan sandiwara radio. Dari sana, dia kemudian mengumpulam beberapa teman-temannya untuk bermain sandiwara radio. Di masa SMA juga, saat sedang berjalan di bawah sengatan matahari, Satria melihat sebuah poster Manusia Makan Manusia, Drama Edan karya Putu Wijaya yang dimainkan Abu Bakar. Setelah menonton pertunjukkan tersebut, muncul niatnya untuk belajar teater untuk pertama kali.
Mungkin karena sudah dianugerahi bakat, di waktu yang bersamaan, Satria juga menyukai drama gong asal desanya, Banyuning, Buleleng yang kerap pentas keliling Bali, salah satunya ke Denpasar. “Jadi dua jenis teater menyentuh saya pada saat lahan kreatif saya mulai terbuka, yaitu drama gong dan teater modern”, ungkapnya. Jika diminta memilih antara teater dan drama gong, Satria mengaku lebih tertarik dengan teater modern, karena dalam teater modern ada dinamika. Sedangkan, drama gong cenderung statis.
Meskipun begitu, berbekal kerap menonton drama gong dan melihat pertunjukan Abu Bakar dalam teater modern, membuat Putu Satria Kusuma meneguhkan komitmennya berkarya lewat seni pertunjukan. Dia kemudian mengumpulkan teman-temannya dan membuat kelompok teater yang diberi nama Teater Kosong sekitar tahun 1980-an (tamat SMA). Teater tersebut berdiri tanpa seorang pelatih, dia membangun Teater Kosong hanya berdasar naluri. Setelah itu, baru Satria berkesempatan ke rumah Abu Bakar yang ada di Jalan Suli, Denpasar.
Dia lalu memutuskan bergabung dengan Abu Bakar untuk belajar lebih dalam tentang teater modern. Dengan Abu Bakar, Satria mengaku hanya sekali saja bisa tampil bareng, karena Satria juga sibuk dengan kelompok teater lainnya. Dengan bekal sedikit dari Abu Bakar dan rasa percaya diri, bersama dengan kelompok teaternya, Satria kemudian membuat naskah sendiri. Dia pun mengubah nama teaternya, dari Teater Kosong menjadi Kelompok Teater Kebun Bayem. Beberapa kali sempat ikut lomba drama di kampus sastra, namun hasilnya kalah.
Setahun kemudian di kampus yang sama, ada lomba penulisan naskah. Satria pun ikut dan akhirnya juara. Naskahnya saat itu berjudul Lahir. Sayangnya, naskah pertama yang dianggapnya berhasil mengangkat namanya tersebut sudah hilang. Berangkat dari sana, berbagai lomba naskah dan cerita pendek dia diikutinya dan berhasil meraih juara. Untuk menambah ilmu, selain belajar di Teater Poliklinik Abu Bakar, Satria juga belajar berproses kreatif di Sanggar Putih milik alm Kadek Suardana, Teater Mini Badung milik Ida Bagus Anom Ranuara dan Sanggar Minum Kopi. Satria juga sempat mengikuti sejumlah workshop dari tokoh teater Indonesia, seperti Putu Wijaya, Arifin C. Noer dan Teguh karya. (*/mus)
Bersambung ke bagian 2
0 komentar:
Posting Komentar