Jumat, 07 April 2017

Mengenal sosok Putu Satria Kusuma; Penulis Sekaligus Sutradara Teater Kampung Seni Banyuning Bagian 2


Artikel terbit di Harian Radar Bali Jawa Pos Edisi 6 April 2017

sambungan dari bagian pertama
 
Jadi Target Orba, Kritik Pemerintah Lewat Sastra


Sumber foto
Cerita demi cerita yang disampaikan Putu Satria Kusuma kepada Jawa Pos Radar Bali menunjukkan bahwa dirinya adalah seniman yang tak pernah berhenti berproses. Ia percaya bahwa sebuah proses tak akan mengkhianati hasilnya.


Derasnya guyuran air hujan yang dipadu dengan suara knalpot kendaraan menghiasi orolan Jawa Pos Radar Bali dengan Putu Satria Kusuma di ruang kerjanya. Untuk menghangatkan suasana, sebatang rokok dinyalakan sang seniman. Saat itu, Kota Singaraja cuacanya memang tidak menentu. Kadang hujan, kadang panas. Kembali ke obrolan, sebagai seorang sastrawan, tahun 1998 menjadi tonggak penting bagi Putu Satria Kusuma. Karyanya yang berjudul Bayangan di Depan Bulan, menjadi pemenang lomba urutan ketiga yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Kemenangan itu dia anggap sebagai talak ukuran dirinya dalam berkarya, sekaligus sebagai penghargaan nasional pertama yang diterima sebagai seorang penulis naskah. Penghargaan tersebut dimenangkan setelah dirinya pindah ke Singaraja setelah sekian tahun menentap di Denpasar. Keputusan merantau ke Kota Pendidikan sebenarnya tidak mudah. Kebetulan aktivitas berkesenian dirinya di Kota Denpasar sedang tinggi-tingginya saat itu. Namun, karena istrinya tidak bisa pindah ke Denpasar, dirinya mengalah, dan pindah ke Singaraja.

Dan, kepindahan dirinya ke Singaraja tak menutup kreativitasnya sebagai seorang sastrawan. Dia pun memilih bergabung ke Teater Kampung Seni Banyuning. Teater tersebut dulunya diisi para penari drama gong yang jarang pentas karena waktu itu kesenian tradisional ini sedang meredup. Momen yang tepat. Apalagi Teater Kampung Seni Banyuning saat itu tidak memiliki seorang penulis naskah teater modern. “Ketika sasya pindah ke Singaraja, saya kemudian diangkat sebagai penulis naskah dan sutradara di Teater Kampung Seni Banyuning,” ujar Putu Satria Kusuma.

Beberapa naskah yang dia buat kini sudah berhasil didokumentasikan dalam bentuk buku berjudul Cupak Tanah pada 2015 lalu. Buku tersebut berisi enam naskah, yakni Bayangan di Depan Bulan, Cupak Tanah, Di Ruang Tunggu, Menunggu Tikus, Subak dan Sukreni. Saat disinggung mengenai berbagai karyanya, seperti cerpen, puisi, naskah film dan lainnya, Satria mengaku karya-karya tersebut dipengaruhi oleh kondisi di lingkungan sekitar. “Teman-teman saya sering bertanya, apa yang kamu dapatkan dari teater? Lama saya pikirkan, dan ternyata saya ini berteater karena ingin menyampaikan “sesuatu”,” terangnya.

Sesuatu tersebut, tidak bisa disampaikan secara ilmiah karena ia bukanlah akademis. “Saya juga tidak bisa menyampaikan dengan pidato, karena saya bukan wakil rakyat. Tetapi, saya ingin menyampaikam sesuatu yang saya lihat di lingkungan saya yang harus saya sampaikan. Tentang ketidakadilan, kerusakan lingkungan, kemanusiaan, dan sosial. Itulah yang mempengaruhi karya-karya saya,” tuturnya. Pernah tidak mendapat tekanan dari aparat? “Pernah. Itu terjadi di zaman Orba saat saya tampil bersama Kelompok Kebun Bayem di Art Center,” tandasnya.

“Saat itu saya memainkan karya Putu Wijaya. Isinya tentang rumah sakit yang mendadak mati listrik sehingga operasi tidak lancar. Sebelum pentas, naskah itu diperiksa kepolisian,” beber Putu Satria Kusuma. Menurutnya, pihak kepolisian keberatan karena menganggap materi pentas memprovokasi masyarakat terhadap rumah sakit. Sehingga diminta menghilangkan adegan tersebut. “Drama itu menyampaikan sesuatu berdasar fakta. Zaman itu, mana ada rumah sakit yang bagus semua. Dan, listrik yang mati tersebut dulu menjadi hal yang lumrah,” paparnya.

“Saya bingung, kalau adegan terebut harus dihilangkan. Apalagi saya sudah edarkan karcis,” kenangnya. Saat penonton sudah datang, polisi ikut datang dan ikut meneror. Akhirnya, dia terpaksa menghilangkan adegan mati listrik. Hanya saja, tentu hasil pertunjukan tidak sesuai dengan yang diinginkan. “Setelah Soeharto jatuh, tidak ada lagi larangan-larangan itu lagi. kalau pentas, sudah seenanya saja sekarang,” ujarnya. Di balik karya-karya Putu Satria Kusuma yang kerap mengkritik pemerintahan, ternyata Satria sendiri adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS).

Sehari-hari dirinya bekerja sebagai PNS di Dinas Kominfo. Jadi, satu sisi, dia harus mendukung pemerintahan, tapi satu sisi sebagai seniman membuatnya harus menjadi orang yang kritis. Lantas? “Saya harus bisa membedakan diri saya. Sebagai orang yang mendukung pemerintahan dari segi positif saja. pemerintah itu kan bagus, tanpa pemerintah kita tidak bisa jalan. Pemerintah yang bagus artinya bebas dari KKN, menjalankan kewajiban dengan baik,” jawabnya. Tapi, kata dia, ada sisi buruknya. Keburukan-keburukan itulah yang dia garap lewat pementasan di atas panggung.

“Kebijakan-kebijkan besar pemerintah yang merugikan masyarakat saya kritisi lewat kesenian. Nanti setelah saya pensiun, empat tahun lagi, baru saya bisa total. Terlebih saya punya pengalaman di dalam pemerintahan. Sekarang saya kritisi yang umum-umum saja. seperti kerusakan lingkungan, jual beli jabatan dan lainnya,” ujarnya. Sementara sebagai filmmaker, beberapa film pendek Putu Satria Kusuma kerap kali menjadi juara di berbagai lomba. Di antaranya fil berjudul Kresek yang bercerita tentang sampah plastik; Bapa yang menceritakan kekerasan politik di Bali pada anak, dan beberapa film lainnya.

Untuk biaya mengikuti kompetisi, kata dia, biasanya ditanggung pemerintah daerah. Kebetulan film-film tersebut mewakili daerah. Satu film biasanya mendapat anggaran 5 juta. “Meskipun dananya kecil, tapi kami garap maksimal, sehingga selalu menang,” uangkapnya. Di sela-sela wawancara, koran ini melihat tumpukan buku yang berantakan di meja dan juga ada yang tertata rapi di ruangan kerjanya. Saat ditanya, Satria ingin membuat karya tulis atau novel yang mengaduk ratusan buku yang dimilikinya tersebut menjadi sebuah karya imajinasi.

Terutama buku-buku yang disukainya tentang Bali. “Bagi saya, nggak mungkin saya melahirkan karya tulis kalau kita nggak pernah baca buku. Tapi, baca buku saja nggak cukup kalau kita nggak langsung turun ke lapangan,” terangnya. Satria sangat menyayangkan semangat literasi generasi millennial di Bali khususnya dari waktu ke waktu semakin redup. “Saya pikir, hal ini tidak lepas dari motivasi para gurunya,: paparnya. Di bidang sastra, misalnya. Satria kerap menjadi juri lomba cerpen. Saat berdiskusi dengan para peserta, bacaan peserta lebih banyak novel pop.

Untuk itu, ia berharap para peserta ini mesti membaca novel ang serius. “Itu kan karena gurunya. Nah, saya kebetulan ketemu guru saya Mas Abu Bakat. Karena Mas Abu Bakar nggak punya bacaan novel pop, dia memberikan bacaan buku karya Pramoedya Ananta Toer,” jelasnya. Kalau bangsa Indonesia tidak suka membaca, Satria yakin akan miskin gagasan dan tidak akan kritis dengan lingkungan. Bahwa, masyarakat tidak akan melihat banyak jalan untuk mencapai kemajuan. Sehingga Satria sangat mendukung bila di sekolah tersebut dihidupkan kembali semangat literasi. (*/mus).

0 komentar:

Posting Komentar