Ilustrasi Bagus/Jawa Pos |
DULU saat aku masih kecil, di kampung kami semua orang bisa bermain judi dengan bebas dan riang di teras rumah, pekarangan, bahkan di pinggir jalan, tanpa harus takut diciduk polisi atau sekadar diganggu tentara yang datang meminta uang dengan pongah. Tidak seperti sekarang, mesti sembunyi-sembunyi di sepetak kamar pengap atau di balik kandang babi; yang ujung-ujungnya jika ketahuan dan digerebek, perkaranya tetaplah juga uang!
Itu hanya bisa terjadi pada masa-masa Paman A Nam masih hidup dan berjaya sebagai juragan lada, tauke beras, dan pemilik dua buah toko kelontong besar di pasar, sekaligus bandar togel Singapura. Para anak buahnya—ai, semacam pegawai tak resmi yang jika tertangkap haruslah bung kam—enjoy berkeliaran dari rumah ke rumah dengan pulpen dan kupon putih. Jumlahnya mungkin ada puluhan: tua-muda, laki-perempuan, sampai gadis-gadis remaja. Layaknya para sales panci, siang-malam mereka menjajakan angka dengan berjalan kaki, bersepeda, maupun bermotor. Sebagian hingga ke kampung-kampung lain di sekitar, termasuk perkampungan Melayu.
Pamanku, A Ciap, adalah salah seorang pengedar kupon putih itu. Setiap pagi seusai sarapan—seiring waktu aku berangkat ke sekolah—dengan sebatang pulpen terselip di saku kemejanya, mulailah ia mengayuh sepeda ke jalan sambil berteriak-teriak seperti tukang ikan atau penjaja daging babi: “Empat satu, lima empat, shio babi! Hayo, babi besar! Bibi Lian mimpi ketemu babi besar di hutan!”
Hm, masih hafal betul aku pada suaranya yang cempleng juga mukanya yang merah keringatan. Aku juga ingat, selain pulpen dan kupon, ia selalu membawa pula buku Tafsir Mimpi di kantongnya. Sebuah buku kecil tebal yang juga dimiliki ayahku, dan kukira oleh hamper semua orang di kampung kami. Dulu aku suka membolak-balik buku tersebut untuk melihat gambar-gambarnya yang menarik. Dari bunga tulip, ikan paus, Stalin sampai pesawat Apollo. Tidaklah kalah lengkap rasanya dari Ensiklopedia Disney di perpustakaan sekolahku.
Benar, orang-orang di kampung kami barangkali memang berurat penjudi. Tak nenek-nenek uzur, tak bocah dengan ingus meleleh, semuanya begitu karib dengan beragam permainan kartu maupun dadu. Tersebutlah kiu-kiu, poker, 21, mahyong, ceki, gaple sampai remi –semuanya kami kuasai. Mulai dari taruhan seribu-dua ribu di bawah rimbun embacang hingga yang berkisar ratusan juta saat cukong-cukong pulang dari Jakarta. Dan, di atas semua ini, tentu saja Paman A Nam pun makin berjaya. Semakin hari kian buncit perutnya, kian keras pula tawanya. Bergelegar dan membuat lemak tebal di perutnya berguncang-guncang: “Mainlah! Ayo main! Di kampung ini siapa pun bebas bermain! Hahahahaha…”
Hm, betapa tidak. Setelah SDSB ditutup oleh pemerintah, gairah berjudi orang-orang di kampung kami bukannya meredup, justru sebaliknya kian menjadi-jadi. Agaknya tak satu pun warga yang tidak membeli togel. Dari mereka yang kerja sehari makan sehari sampai yang punya berhektare-hektare kebun lada dan memelihara puluhan ekor ternak babi. Tentu, yang terakhir sebetulnya tak terlampau mengharapkan nomornya tembus, kecuali jika mereka sedang bertaruh dalam jumlah besar. Tapi kau tahu, betapa mendebarkannya menunggu angka apa saja yang bakal keluar. Seperti juga alangkah menggairahkan saat jari-jarimu menggeser kartu perlahan. Jantung bakal terpacu lebih kencang dan kaki-tangan pun kerap jadi dingin lantaran adrenalin yang ter pompa… Uuh, mantap betul rasanya!
Namun, bagi kami, bocah-bocah yang riang kala itu, tak ada permainan yang lebih asyik dan mendebarkan selain judi kodok-kodok di Tahun Baru Imlek. Ya, hanya di Tahun Baru Imlek, sejak dua hari menjelang hingga seminggu setelahnya. Tidak seperti judi-judi lain yang bisa berlangsung kapan pun. Ai, janganlah bertanya kenapa demikian. Sebab aku sendiri tiada paham. Seolah-olah hal ini memang sudah ketentuan…
***
SUNGGUH, hingga kini masih kerap terbayang olehku betapa serunya permainan itu. Geli rasanya mengingat, bagaimana kami menyerbu layaknya sekawanan kucing garong melihat ikan asin begitu selembar kain atau papan triplek berisi enam buah petak gambar tergelar di teras rumah. Bahkan seringkali belum juga sang bandar mengeluarkan dadu-dadu kayunya yang bergambar serupa, telah berebutan kami merogoh saku dan melemparkan uang kertaslogam ke atas petak-petak gambar. Alangkah menggiurkannya ikan, kepiting, udang itu di mata kami. Sungguh gemas pula melihat gambar labu dan kerincingan! Juga kodok dengan mata separo melotot di atas enceng gondok…
Lazimnya, judi kodok-kodok ini baru dibuka selewat tengah hari. Jika bukan di teras yang luas, para bandar biasanya akan menggelar hamparan kain atau papannya di halaman belakang rumah dan mengambil tempat yang rindang, misalnya di bawah pohon. Meskipun jumlah bandarnya bisa mencapai puluhan dan tersebar di seantero kampung, tapi permainan ini tak pernah kekurangan peminat. Senantiasa dikerumuni dengan antusias oleh tua-muda, besar-kecil, laki-perempuan.
Namun begitu, aku dan kawan-kawanku lebih suka lari ke teras rumah Paman A Fat. Kendati tak pernah kenakan jas licin berdasi dengan rambut tersisir rapi melainkan hanya sehelai kaus oblong butut dan celana kutung, tetap saja lelaki ceking separo baya itu buat kami bagaikan sosok Chow Yun Fat dalam fi lm God of Gambler, tampak begitu berwibawa dan memukau di depan papan kodok-kodoknya. Apalagi ketika ia mulai memutar dan membolak-balikkan mangkuk-piringnya dengan gerakan menawan. Kadangkala pula mangkuk-piring yang tertutup rapat itu meluncur cepat di sepanjang lengannya untuk kemudian ditangkapnya dengan tangkas.
“Ayo pasang, Kawan-kawan. Pasang yang besar!” teriaknya dengan suara parau. Ya, tidak seperti para bandar lain yang cuma mengocok dadu sekenanya, Paman A Fat selalu menyuguhkan atraksi-atraksi kecil yang membuat kami terpukau takjub. Karena itu, walaupun ia lebih sulit ditaklukkan dibandingkan Bandar lain, tetaplah kami lebih suka memasang taruhan di tempatnya demi menyaksikan atraksi-atraksi menarik itu. Ai, sampai sekarang seolah masih terngiang betapa merdu kerontangan dadu di dalam mangkuk-piringnya!
“Gini-gini aku pernah ke Makau dan kerja di kasino!” katanya suatu kali dengan nada jumawa kemudian tertawa terbahak-bahak sampai kedua matanya tinggal segaris. Alhasil, uang angpao kami pun nyaris ludes diraupnya.
“Dasar pembual! Ke Jakarta saja ia belum pernah, ngaku pernah ke Makau!” demikian gerutu ayah Jen Hiung dengan muka memerah saat tahu uang angpao temanku itu cuma tersisa beberapa lembar seribuan saja. Orang tua lain juga tak kalah berang mengetahui hal serupa terjadi pada anak-anak mereka. Aku sedikit beruntung saat itu karena tak terlampau bernafsu seperti kawan-kawanku.
Memang, sejak dulu aku tak pernah membawa “seluruh hartaku” setiap pergi memasang taruhan kodok-kodok. Aku, begitu juga Hon Nen, cukup perhitungan lantaran kami masih ingin menonton aksi-aksi Lo Jui dalam film Shao Lin vs Ninja yang akan diputar di bioskop pada hari ketiga tahun baru. Ayahku sudah berjanji akan membawa kami menyaksikan film yang ditunggu-tunggu itu. Lagi pula aku tak rela uang angpao yang capek-capek aku kumpulkan dengan menjura-jura dari rumah ke rumah, ludes begitu saja. Tapi tak urung ibuku bersungut-sungut: “Jangan lagi kau pasang taruhan di rumah si A Fat bajingan itu! Ia hanya ingin menguras uang kalian anak-anak! Lelaki tak tahu malu…”
Tetapi, kau tahu, anak-anak memang tak mudah kapok, bukan? Ada-ada saja akal kami mendapatkan angpao tambahan. Begitu uang angpao pemberian orang tua, kakek-nenek, paman-bibi dan para tetangga menipis, segera pula kami mengayuh sepeda ke kampung-kampung sebelah, menyambangi rumah teman-teman sekolah kami atau satu-dua kenalan untuk meng ucapkan “Gong Xi Fat Cai”.
“Sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga!” begitulah keyakinan kami. Karena itu, selihai-lihainya Paman A Fat mengguncang dadu, toh pasti akan ada saatnya ia kena sial. Dan itu sudah beberapa kali terbukti. Pernah, pada tahun sebelumnya, gambar labu dan udang yang kami pasang keluar terus-menerus seakan dadu-dadunya bersekongkol dengan kami untuk mengkhianatinya. Maka, teballah kantung kami seketika. Hanya saja keberuntungan itu rupanya tak bertahan lama, karena pada hari keempat Sin Ngian ia kembali meraup uang kami sambil terkekeh. Akibatnya, Hon Nen yang sudah beriming-iming membeli sepeda BMX nekat mengencingi sumur lelaki itu malam-malam. Hahahaa! Lucu jika mengenang kejadian itu.
***
YA, sebagaimana telah kukatakan sebelumnya, orang-orang di kampung kami memang keranjingan berjudi. Kegilaan bertaruh ini, bahkan menjangkiti sejumlah guru di sekolah kami. Pak Hasan dan Pak Ismail misalnya, sering terlihat ikut nimbrung bersama warga; mengotak-atik angka di muka toko kecil Bibi Kim. Sedikit pun tiada risih dengan seragam PNS mereka, lantaran sudah jadi kebiasaan sejak jaman KSOB sampai SDSB. Ai, kukira mereka pasti berpikir buat apa malu? Toh, polisi dan tentara juga sering ikut membeli. Bahkan satu-dua tampak pula ikut membanting batu-batu domino! Hanya saja—ini menurut seorang tetanggaku—uang mereka sering dikembalikan oleh warga jika kalah…
Berkat pertemanan baik Paman A Nam dengan Kapolsek, Danramil, Pak Camat, dan Pak Jaksa, boleh dikatakan pada masa itu tak seorang pun “petugas berwajib” yang berani mengusik ramainya perjudian di kampung kami. Bukankah sudah rahasia umum jika setiap awal bulan ia bakal membawa satu kantung kresek penuh uang ke rumah dinas orang-orang penting itu? Ah, “bagi-bagi jatah” atau “setoran bulanan”, begitulah istilah yang kudengar kemudian dari A Kian, temanku yang ayahnya dianggap tangan kanan Paman A Nam.
Tak pula heran karenanya, setiapkali ada per gantian Kapolsek, Danramil, camat, atau jaksa, sudah bisa dipastikan Paman A Nam akan hadir dalam upacara penyambutan dengan kemeja batik dan senyum tersungging lebar. Dan, tak lama kemudian, orang-orang penting baru itu pun tampak bertamu ke rumahnya, tertawa-tawa (terkadang sembari ngebir) hingga cukup malam.
Sebab itu, kata orang, perut buncitnya—yang tampak bagi kami bagaikan perut Cu Pak Kai—selalu membuat jerih para polisi maupun tentara berpangkat rendah. Tak ada yang coba-coba membuat masalah jika tak ingin mendapatkan masalah pula dari komandan mereka. Bahkan para preman yang suka memalak di kampong lain perlu berpikir dua kali untuk singgah ke kampong kami, jika tak ingin diciduk ke tangsi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Pengecualiannya adalah kalau ada razia resmi dari polres atau instruksi Kapolda di Palembang. Itu pun biasanya sudah bocor jauh hari. Aku sendiri pernah memergoki Pak Solihin, sang Kapolsek, sedang bertamu di rumah Paman A Nam suatu malam saat pulang menonton video dari rumah Hon Nen. Mereka tampak bercakap-cakap di ruang tamu sambil ngopi. Di sana juga hadir Paman Chiu, ayah A Kian, bersama seorang Melayu yang belum pernah kulihat. Rupanya kedatangan Pak Solihin itu bermaksud mengimbau agar sementara kami tidak dulu berjualan togel di siang hari, dan dalam waktu dua minggu semua kegiatan judi lainnya harus dihentikan.
“Akan ada razia gabungan dari polres,” demikianlah kudengar bisik-bisik kedua orang tuaku sepulang sekolah keesokan harinya.
Tetapi jika operasi itu melibatkan tim dari Palembang, mereka akan datang ke kampong kami dan mengamankan satu-dua orang yang sudah ditunjuk. Nama Paman A Nam tentu saja tak pernah disebut. Seingatku Paman A Ciap juga pernah menjadi salah satu tameng bosnya itu. Tiga minggu lamanya ia ditahan di kantor polisi. Namun tak lama setelah itu, ia pun membeli TV dan video Betamax baru yang membuat wajah anak-istrinya berseri-seri.
“Bolehlah, kalau kau mau nonton Gaban di rumahku,” kata A Loi, salah satu sepupuku tak lama kemudian. Tetapi mendengar suaranya yang angkuh, sekalipun TV kami telah terjual untuk mencicil hutang ayahku akibat kekalahan tragisnya di meja mahyong, tidaklah sudi aku menerima undangannya yang berkesan merendahkan itu. Huh!
***
BEGITULAH, Kawan. Kampung kami barangkali boleh dikatakan hidup dari gairah taruhan. Tapi itu masa lalu. Masa lalu yang gemilang, kata orang-orang seraya mengenang dengan mata sedikit berkaca-kaca. Namun kurasa anggapan itu ada juga benarnya. Maka, tidaklah perlu bingung jika suatu hari kau bertandang ke kampung kami dan menemukan wajah warganya kerap tampak muram walaupun sebagian mereka sebetulnya hidup bercukupan. Saban siang akan kau lihat anak-anak muda nongkrong di pagar jembatan tanpa semangat atau ibu-ibu sedang termenung di beranda rumah, juga bapak-bapak yang sepulang kerja hanya tidur-tiduran belaka jika tak ada siaran tinju dan bola.Anak-anak kecil pun jadi lebih rewel, dan itu kadangkala menimbulkan keributan di rumah yang disusul melayangnya sandal jepit atau sendok ke tembok.
Ya, setelah Paman A Nam meninggal, semuanya perlahan mulai berubah. Waktu itu aku kelas tiga SMP. Ia terkena serangan jantung mendadak dan tak tertolong lagi dalam perjalanan menuju rumah sakit. Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia kegemukan. Jantungnya terimpit oleh lemak. Namun, yang beredar kemudian ada beragam versi, dan versi-versi inilah yang lebih dipercayai warga ketimbang sang dokter yang belum lama berselang kehilangan istri akibat paru-paru basah itu.
Ada yang mengatakan Paman A Nam kena serangan jantung akibat syok berat setelah tertipu lebih dari 2 M. Dari bisik-bisik yang beredar, konon raja togel itu baru saja menanamkan saham di sebuah perusahaan di Jakarta. Perusahaan apa kami tidak tahu. Orang yang menipunya itu, syahdan pula, seorang setan judi yang jauh lebih licin! Memang, beberapa minggu sebelum meninggal, wajah bulat gemuk Paman A Nam tampak tak seceria biasanya. Beberapa warga bahkan sempat menangkap basah ia tengah melamun.
Versi kedua menyebutkan ia disantet oleh seorang lawannya main poker yang kalah banyak. Tak tanggung-tanggung mereka bertaruh di Singapura! Siapa lawan mainnya itu, ada yang bilang seorang China Belitung, ada yang mengatakan berasal dari Kalimantan Barat. Versi-versi lainnya kemudian terus berkembang dan membuat kebenaran makin bersimpang-siur.
Prosesi pemakaman Paman A Nam adalah upacara kematian paling megah yang pernah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Ratusan orang berdatangan dari Belinyu, Sungailiat, Jebus, Koba, Pangkalpinang, dan Mentok. Belum terhitung sanak-keluarga dan teman-temannya yang jauh-jauh datang dari Belitung, Palembang, dan Jakarta.
Tenda-tenda didirikan di sepanjang jalan kampung kami sampai ke depan rumahku yang berjarak 400 meter, dan itulah untuk pertama kalinya aku melihat begitu banyak mobil mewah mengilap. Umbul-umbul dan panji bersulam keemasan berisi huruf-huruf China juga terkibar di muka rumahnya dan sepanjang jalan masuk kampung. Musik Tanjidor bermain hampir nonstop membawakan lagu-lagu sedih. Kapolsek, Danramil, camat, jaksa, semuanya tampak hadir. Bahkan Kapolda mengirimkan karangan bunga dari Palembang. Peti matinya yang besar dan berwarna merah menyala harus digotong enam orang saat diusung keluar dari rumah dan dinaikkan ke mobil jenazah. Puluhan bus dan truk disediakan untuk mengangkut para pelayat yang hendak mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir. Perarakan jenazah menuju pemakaman itu dipimpin oleh mobil patroli dengan sirene meraung-raung.
Ai, itulah tanda-tanda kejayaannya yang penghabisan. Setelah itu, semuanya mulai memudar. Kebun ladanya yang luas adalah yang pertama-tama lenyap terjual, kemudian salah satu toko kelontongnya terpaksa ditutup. Putra sulungnya yang tak kalah gemuk mencoba mempertahankan kekayaan keluarga mereka dengan ngos-ngosan. Tapi ternyata ia sudah terlanjur jadi anak manja yang gagap mengambil keputusan dan takut menempuh risiko. Ini belum lagi ditambah dengan sifatnya yang suka berfoya-foya. Sementara itu si bungsu yang penyakitan, sama sekali tak bisa diharapkan. Di samping masih terlalu belia, juga tak suka bergaul dan jarang keluar rumah. Konon, kerjaannya cuma membaca komik dan cerita porno stensilan…
Begitulah. Setahun-dua tahun sepeninggalan Paman A Nam, judi dan togel masih terus berlangsung dengan lancar di kampung kami. Namun, memasuki tahun ketiga, keadaan mulai runyam. Sekelompok polisi datang menggerebek kampung kami pada suatu malam dan mengamankan belasan orang yang sedang berjudi kiu-kiu di rumah Hon Nen. A Fui, ayah Hon Nen, kendati saat itu sedang tak turut bermain tentu saja ikut dibawa. Cuma dua minggu mereka ditahan di Pol sek, tetapi bukan dilepaskan seperti yang sudah-sudah. Melainkan langsung dikirim ke Sungailiat, diadili, dan dijebloskan ke LP Bukit Semut! Bibi Cu, ibu Hon Nen, sampai menggerung-gerung.
Ya, semenjak kejadian itu, orang-orang di kampung kami pun mulai takut-takut berjudi dan melakukannya secara sembunyisembunyi. Namun, tentunya kau mafhum pula, selalu saja ada Pak Polisi atau Pak Tentara yang nakal. Yang dengan malu-malu kucing atau tanpa segan-segan menadahkan tangan. “Oknum” begitulah istilah dalam berita TV.
“Tapi kalau sudah berjamaah begitu, apa iya masih bisa disebut oknum?” celetuk Pak Hendri, guru sejarahku di SMA suatu hari sambil bersungut-sungut.
Karena itulah, setiap Tahun Baru Imlek, kampong kami sebenarnya masih cukup meriah dengan beragam judi, termasuk judi kodok-kodok. Togel pun masih terus berlanjut, kupon demi kupon. Tetapi, hujan tidak turun sepanjang waktu, kata sebuah pepatah Barat, yang artinya sama dengan “tak ada pesta yang tidak selesai”. Reformasi yang disusul dengan otonomi daerah dan pembentukan provinsi baru membawa cukup banyak perubahan. Tentara di kandangkan, dan polisi jadi sedikit lebih tahu diri setelah koran-koran lokal bermunculan. Meskipun kemudian muncul pula “oknum-oknum” lain yang kerap menadahkan tangan diam-diam: wartawan bodrek!
Aku sudah merantau ke Jakarta dan ikut dengan seorang pamanku dari pihak ibu, membantunya mengurus toko elektronik, ketika mendengar kabar itu dari A Phing, adik perempuanku: “Tak ada yang berani berjualan togel lagi, Ko. Banyak orang kena tangkap di mana-mana. Bandar, pengedar, maupun pembeli. Sejumlah warga kampong kita diburu-buru polisi. Malah ada yang sampai bersembunyi di hutan…”
Itu kira-kira seminggu sebelum Tahun Baru Imlek dan kebetulan aku tidak pulang karena paman sedang sakit. Toh, ini pun bukan kabar mengejutkan yang terakhir. Lantaran pada hari kedua Sin Ngian, terbata-bata ibuku mengabarkan sebuah berita lain lewat telepon: Paman A Ciap ketangkap menggelar judi kodok-kodok di balik kandang babi. Ia babak-belur dihajar polisi dan digelandang ke polsek! Lalu yang lebih mencengangkan buatku, sang Kapolsek meminta uang tebusan 30 juta kepada bibiku!
“Tengah Sin Ngian kok malah kena sial… Ayyaa, dari mana mereka dapat uang, Nak?” kudengar suara ibuku yang serak seperti hendak terisak. Aku terhenyak. Dari dalam kepalaku, tiba-tiba saja berloncatan keluar udang, ikan, kepiting, kerincingan, labu, dan kodok. Ayyaaa… ***
Mantrijeron, Jogja, Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar