Sabtu, 08 April 2017

Lukisan Jeihan di Kolong Viaduk


Cerpen Kurnia J. R. (Jawa Pos, 14 Februari 2016)

Ilustrasi Bagus/Jawa Pos

INGATKAH engkau pada seorang anak yang menemui ajal di ujung belati tanpa alasan? Beritanya dimuat di koran, majalah, dan televisi. Aku berjumpa dengan dia siang itu di kolong viaduk. Kulihat matanya bolong dan kosong. Saat itu kota dirundung mendung dan selimut angin menebal akhir tahun.

Ia melangkah berlawanan arah dengan aku, acuh tak acuh. Aku tercekat karena tak ada apa pun di lubang mata itu. Ingat kau pada lukisan Jeihan? Nah, seperti itulah sosoknya. Aku terhenti dan meneguhkan kesadaran bahwa saat itu siang hari, meski nyaris gelap karena bayangan musim penghujan yang kelewat panjang tahun ini.

Aku ingin memastikan sosoknya bukanlah hantu—kutegaskan ini pada dirimu agar engkau tidak menuduh aku mengada-ada. Sesaat kemudian gemuruh suara memenuhi terowongan karena kereta lewat di atas kepala. Deru angin menghentak dari kedua mulut lorong hingga ke dalam dada. Belum lagi deru mesin mobil, motor, bajaj yang bising dari kedua arah.

Tanpa kusadari tiba-tiba anak itu telah berdiri tepat di hadapanku. Kakinya tidak beralas. Mulutnya sedikit terbuka dengan dua gigi kelinci menyembul separo. Ya Tuhan, matanya—kau harus percaya ini—kelam laksana malam, atau liang lahat tanpa jenazah. Itu sebabnya aku tak tahu apakah ia menatap aku atau menembus langsung ke punggungku. Aku serasa menyaksikan horor yang menjerat, membelenggu, menelikung tanpa memberi aku kesempatan untuk berkelit, berbalik, atau bergegas ke depan. Dia berdiri tepat di depanku, menghalangi langkahku.

Ia menadahkan tangan. Ooo uang? Tak semudah itu nyatanya. Aku menggigil. Gusti, apa yang tengah terjadi? Lebih dari sekadar mengemis, anak ini menuntut sesuatu yang seharusnya tak ada hubungan apa-apa dengan diriku. Aku ingat aku pernah melihat potret dirinya di Koran dan berita TV tentang kematiannya yang sia-sia lantaran kekejian dalam keluarga.

Mendadak petir meledak dengan kilat bak kepala naga menerobos mulut terowongan. Angin menggulung seluruh debu di trotoar. Aku berharap drama ini segera tamat dan aku terbebas dari teror arwah ini. Ya, kuakui bahwa saat itu aku sudah menyerah pasrah dan menganggap dia hantu di siang bolong.

“Tolong saya…,” katanya, serak. Suara adolesens.

Bisa kau bayangkan air mukaku saat itu? Aku tidak tahu lagi seperti apa rasanya takut yang tidak terkendali. Yang namanya gemetar tidak lagi terdeteksi karena mungkin syaraf dan ototku kehilangan fungsi.

“Saya lapar…”

Aku terpukul dan memberanikan diri menyelusup ke dalam matanya yang gelap pekat, lebih kelam dari jelaga. Seketika rasa mapanku sudah terkoyak rusak dan rasanya tak bisa dipulihkan hanya dengan merogoh kantung dan memberi dia selembar uang. Kedua kaki terpaku di trotoar kering berdebu. Bagaimanapun, harus ada kata-kata! Dengan kata-kata bisa memulihkan kesadaran. Dengan kesadaran aku berpeluang membangkitkan kembali tenaga untuk merebut kembali daya kendali diri.

“Kamu siapa?”

“Saya lapar.”

“Bukankah kamu sudah mati?”

“Saya nggak tahu. Saya masih ada di sini. Banyak teman-teman juga suka nongol di sini. Yang dulu mampus dibacok sehabis disodomi. Ada yang kepalanya hilang dibelek pakai golok babi. Ada yang nangis terus gara-gara koit sebelum ketemu emak-bapaknya yang pergi nggak pulang-pulang ke gubuknya di pinggir rel kereta…”

Mataku berkunang-kunang dan tungkaiku sudah goyah, namun anehnya, aku masih sanggup berdiri dengan mata membelalak—terpaksa mendengar dan menatap bocah lugu menyeramkan dengan mata gelap kosong.

“Saya kadang-kadang main di stasiun kereta itu.” Sesaat dia menoleh ke kanan; aku paham maksudnya: di sebelah sana adalah stasiun kereta kuno yang kumuh namun masih berfungsi sebagai stasiun transit yang vital ke arah Bogor dan ke arah timur Pulau Jawa.

“Kadang-kadang di pertokoan, ke luyuran, lihat orang-orang belanja atau makan-makan di restoran. Kalau saja saya bisa comot ayam goreng di piring itu, sudah saya sikat. Percuma kalau minta nggak ada yang dengar. Orang-orang nggak ada yang peduli. Padahal, saya kepingin makan doang.”

Gigiku gemeletuk karena dua sebab. Pertama, suhu udara tiba-tiba terjun bebas ke titik rendah untuk ukuran Jakarta tengah hari. Separo kesadaranku masih bisa menangkap panorama redup lantaran mendung yang menggelapkan langit.

Kedua, tubuhku memang benar-benar menggigil karena terjebak absurditas yang nyata di depan mata kepala! Jelas, ini bukan penglihatan batin, bukan mimpi alias bukan pengalaman batin. Penampakannya dan suaranya, kata-katanya, menerobos dimensi khayali ke telinga yang menempel di sisi kepalaku. Engkau harus percaya hantu itu ada!

“Terus kamu mau apa?”

“Makan.”

“Iya, saya tahu, tapi bagaimana caranya?”

“Saya nggak tahu.”

Kurapal sebanyak mungkin asma yang teringat—semuanya nihil. Aku merasa seperti jentera doa di Potala yang diputar namun tiada munajat yang dilafazkan. Hanya haru biru di kalbu melimbang ketegaranku. Bahkan kulihat sepasang lubang hitam di wajah hampa itu lambat-laun membesar laksana malam yang menjala, lantas menelan matahari dan aku tersedot ke dalamnya sekaligus.

Aku tersengal. Gelap menyergap.

Aku terpelanting ke dalam kegelapan yang pekat, bergelimang hawa dingin. Lalu aku menyaksikan pembantaian itu. Bocah bergigi kelinci ini sedang mengerang-erang dalam rengkuhan seorang lelaki kasar. Kemudian kepalanya dibenturkan ke pipa besi melintang.

“Lapaarrr!” jerit si anak, namun tak dipedulikan sama sekali oleh si algojo.

“Bapaaaakk! Ampuuun!”

Pukulan terus bertubi-tubi menghantam kepala dan sekujur tubuhnya.

Kuulurkan tangan, namun tak bisa menggapai mereka. Ingin kuseru mereka, tapi suara tertelan oleh rongga dadaku yang hampa ngeri. Sementara itu, selama orgi penyiksaan itu berlangsung, kusaksikan bunga-bunga bertaburan dari langit, menyirami tubuh si bocah malang. Anehnya, tak sekuntum pun yang menyentuh badan si lelaki yang terus mendera dengan kejam.

Mata di wajah biru lebam bocah itu menatap penyiksanya dengan memelas bermakna permintaan ampun yang substansial, namun tidak mampu menghentikan gerakan tangan dan kaki yang terus meninju dan menendang beriring sumpah-serapah tak habis-habis.

Sepasang mata bening itu sarat dengan pertanyaan mengapa dia didera, dibenturkan, dan dipaksa melupakan laparnya. Entah bagaimana aku menangkap seluruh makna yang tidak diucapkan itu. Kudapati dua kelopak naif dibanjiri air mata ngeri dan pedih. Bocah itu menangis tergugu sembari meronta-ronta menuntut pembebasan.

Lelaki pendek hitam dengan dahi lebar itu kemudian duduk. Dengan susah payah dia menghimpun oksigen bagi paru-parunya yang ringkih. Matanya mendelik galak ke arah korbannya seakan-akan sedang memikirkan metode paling efektif untuk menuntaskan penyiksaan.

“Apa makan?” Ia melemparkan bakiak ke kepala anak itu. “Nih makan!”

Kemudian lelaki itu keluar ruang penyiksaan. Bagai sedang menyaksikan film di layar bioskop aku dapat mengikuti ke mana pun dia bergerak. Dia menghampiri seorang wanita yang tidak terlalu muda lagi, namun masih ada sisa kesintalan tubuh dan kecantikan yang kusam lantaran kemiskinan. Perempuan itu meringkuk dalam histeria di kasur jebol.

“Anak lu keterlaluan. Nggak kerja, malah minta makan. Lu juga nggak bawa duit lagi sekarang. Dasar lonte! Lu malah jual diri!”

Ia menutup seluruh umpatannya dengan tendangan ke perut perempuan itu.

“Baaanggg, jangannn!”

“Gua rugi abis gara-gara dirampok. Semua kaleng minyak gua abis juga! Udah gitu, gerobak gua dibakar Satpol PP.”

Tiba-tiba lelaki itu muntah. Matanya nanap menatap bercak-bercak darah hitam yang muncrat dari mulutnya. Wajahnya pucat lesi. Ia meremas perutnya dengan keras seolah-olah sedang menahan lambungnya agar tidak pecah. Badannya gemetar. Kelantamannya luruh di bawah tatapan rusuh istrinya, namun itu hanya sesaat. Seketika dia berusaha bangkit lagi seraya melupakan remasan nyeri perutnya.

“Heh, anak itu kok nangis terus, sih!”

“Dia lapar, Bang.’’

“Kerja kalau lapar!”

Kemudian dia kembali memukuli istrinya sambil meraung laksana harimau luka yang kecewa dan mengakhiri tindakan itu dengan cekikan kuat sehingga mata perempuan itu mendelik dan lidahnya terjulur. Menyaksikan tubuh kaku, lelaki yang kalap ini beranjak. Di pintu, ia dihadang harimau kecil berdarah yang terpana menyaksikan ibunya baru saja dihabisi. Sorot mata bocah itu nanar, menuntut, sekaligus menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Tubuhnya bergetar hebat.

“Lihat apa lu, kucing kurus?”

“Ibu, Ibu….’’ Anak itu berusaha bicara dengan terbata-bata.

Dalam satu gerakan secepat kilat lelaki itu menyambar belati di atas lemari dan lekas mencelupkan mata runcing logamnya ke dalam sepasang telaga berkabut yang segera saja meluap… menyepuh layar yang kutonton dengan badan membeku bagai es. Entah sejak kapan rasanya aku sudah lupa bernapas.

Alam semburat merah gelap—sepuhan warna padma muncrat ke langit.

Kuntum-kuntum mawar menghambur di udara membungkus lengkingan tinggi si anak yang menggelepar dengan wajah bermandi darah.

Kemudian suara pun lindap.

Dissolved.

Dalam satu hempasan kurasakan tubuhku diterjang orang-orang yang bergegas dari depan dan belakang. Guruh membetot kesadaranku. Rupanya setiap orang menyelamatkan diri dari hujan yang mendadak. Tiada darah, tiada mawar. Tiada jerit parau melenting ke lambung langit. Seperti film bisu kusaksikan viaduk mendadak basah dan orang-orang merapat ke dinding memanjang. Sepeda motor berbagai jenis berbaris memadati trotoar.

Dengan perasaan lemas dan putus asa kucari-cari anak bermata bolong itu, tetapi yang tampak hanya keriuhan kawanan manusia yang berteduh dari air yang tercurah deras. ***


0 komentar:

Posting Komentar