Kamis, 06 April 2017

Pertunjukan Menyapu Jalan

Cerpen Feng Jicai (Jawa Pos, 17 Januari 2016)
Ilustrasi Bagus/Jawa Pos


“Minggu Bersih-Bersih Nasional di mulai hari ini,” kata Sekretaris Zhao, “dan para pejabat di semua daerah akan ikut serta dalam acara menyapu jalan. Ini daftar peserta kita––seluruh pejabat teras kota dan para tokoh masyarakat. Kami baru saja menyalinnya di kantor untuk Anda tanda tangani.”

Lelaki itu tampak seperti layaknya sekretaris eselon atas: kerah bajunya tampak rapi jali, setelan jas militer Mao yang pas badan rapat terkancing; kulit wajahnya pucat; kacamatanya fungsional. Lagak lagunya yang lembut dan santun serta suaranya yang sengaja dimerdu-merdukan menyembunyikan karakternya yang keras dan gampang naik darah.

Wali kota meneliti daftar yang disodorkan sekretarisnya, sekan-akan kedelapan puluh nama yang tertera adalah orang-orang yang terpilih untuk pergi ke luar negeri. Berkali-kali dia menoleh ke langit-langit putih yang tinggi seraya berpikir keras.

“Mengapa tak ada orang dari Persatuan Perempuan?” tanyanya.

Sekretaris Zhao berpikir sejenak. “Oh, Anda benar ––itu dia! Kami sudah memasukkan seluruh kepala jawatan kantor pemerintah di kota ini ––Dewan Olahraga, Dewan Persatuan Pemuda, Persatuan Buruh, Persatuan Sastrawan dan Seniman–– bahkan beberapa guru besar ter kenal dari universitas. Yang terlupakan adalah Persatuan Perempuan.”

“Perempuan adalah sokoguru masyarakat. Bagaimana mungkin kita melupakan perwakilan kaum perempuan?” Sang wali kota lebih terdengar berpuas diri ketimbang kesal. Hanya seorang pemimpin yang sanggup memikirkan segalanya. Inilah saatnya kepemimpinan sejati memainkan peran.

Sekretaris Zhao teringat ketika suatu kali wali kota mengomel karena hidangan ikan tak disajikan dalam jamuan makan untuk menghormati sejumlah tamu dari luar negeri.

“Tambahkan dua nama dari Persatuan Perempuan dan pastikan mereka adalah petinggi atau orang yang memiliki jabatan penting dalam organisasi itu. ‘Pemimpin Pawai Bendera Merah 8 Maret’ (Hari Buruh Perempuan Internasional), ‘Keluarga Para Martir’, atau ‘Buruh Panutan’ boleh juga.” Seperti seorang guru SD yang mengembalikan PR yang buruk kepada muridnya, wali kota menyerahkan daftar nama yang belum lengkap itu kepada sekretarisnya.

“Baik, Yang Mulia, saya akan langsung mengerjakannya. Daftar yang lengkap akan berguna jika nanti ada lagi acara semacam ini. Dan saya harus mengontak setiap orang secara bersamaan. Acara menyapu jalan dijadwalkan pukul dua siang di alun-alun kota. Apakah Anda bisa hadir?”

“Tentu saja. Sebagai wali kota, aku harus memberikan teladan.”

“Mobil akan menjemput Anda di gerbang rumah pukul satu tiga puluh. Saya akan mengiri ngi Anda.”

“Bagus,” sahut sang wali kota acuh tak acuh seraya menggaruk-garuk kepalanya dan membuang muka.

Sekretaris Zhao bergegas pergi.

Pada pukul satu tiga puluh siang sang wali kota melaju ke alun-alun dalam mobil limosinnya. Segenap karyawan, penjaga toko, pelajar, ibu rumah tangga, dan para pensiunan ke luar rumah untuk menyapu jalan dan udara begitu tebal oleh debu. Sekretaris Zhao bergegas menutup kaca jendela mobil. Di dalam mobil hanya tercium bau samar menyenangkan bensin dan kulit pelapis kursi.

Di alun-alun mereka menepi di samping barisan limosin aneka warna. Di depan mereka sekelompok pejabat tinggi dan orang penting telah berkumpul untuk menunggu kedatangan sang wali kota. Seseorang telah mengatur para polisi berseragam untuk berdiri berjagajaga di setiap sudut.

Sekretaris Zhao melangkah keluar dari limosin dan membukakan pintu lebar-lebar bagi bosnya. Para pejabat dalam kerumunan yang tengah menunggu melangkah maju dengan wajah tersenyum lebar menyambut sang wali kota. Semua orang mengenalnya dan berharap menjadi orang pertama yang menyalami tangannya.

“Selamat siang. Ah, senang bertemu dengan Anda. Selamat siang…” Sang wali kota berkata berulang-ulang seraya menyalami mereka satu per satu.

Seorang polisi tua mendekat, diikuti dua polisi lain yang lebih muda seraya mendorong gerobak penuh sapu ijuk besar. Polisi tua itu memilih satu sapu paling bagus berukuran agak kecil dan menyerahkannya dengan penuh hormat kepada wali kota seperti seorang Tibet menyerahkan hada ––sapu tangan sutra sebagai tanda hadiah selamat datang–– kepada seorang tamu kehormatan. Ketika para orang terpandang lainnya telah mendapatkan sapu mereka masing-masing, seorang petugas berseragam dengan pita merah di lengan membawa mereka semua ke tengah alun-alun. Secara alamiah sang wali kota berjalan paling depan.

Kelompok-kelompok orang berdatangan dari tempat kerja mereka untuk menyapu lapangan alun-alun yang luas. Meihat prosesi agung orang-orang yang menyandang sapu dengan iringan para polisi dan petugas yang diselingi jepretan kamera para fotografer ini, para buruh itu menyadari bahwa iring-iringan itu adalah rombongan orang penting dan mereka pun tertarik untuk melihat dari lebih dekat. Betapa luar biasa seorang wali kota menyapu di jalanan, pikir Sekrretraris Zhao, yang dipenuhi rasa bangga tanpa sadar saat dia berjalan di samping wali kota dengan sapu tersandang di bahu.

“Di sinilah tempatnya,” ujar si petugas berpita merah ketika mereka telah mencapai titik yang telah ditentukan.

Kedelapan puluh dua orang terkemuka itu pun mulai menyapu.

Kerumunan orang-orang yang melihat, yang terus dihalau menjauh oleh polisi, berceloteh ribut dengan riang gembira, “Lihatlah orang yang di sebelah sana itu.”

“Yang mana? Yang berbaju hitam?”

“Bukan, yang gemuk botak berbaju biru.”

“Jangan ngobrol saja!” bentak seorang polisi.

Alun-alun itu sangat luas sehingga mereka bingung harus menyapu di sebelah mana. Pelataran yang ditembok sudah tampak bersih. Tapi mereka mulai dari sana. Mereka menyapu sedikit kotoran bolak-balik dengan sapu-sapu besar mereka. Sampah yang paling mencolok adalah sehelai bungkus permen yang mereka kejar beramai-ramai seperti anak-anak mengejar capung.

Para fotografer merubungi sang wali kota. Sebagian bahkan merunduk dan menekuk sebelah lutut untuk mencari gambar yang bagus dari sudut menyamping. Bagai segumpal awan di tengah badai, sang wali kota terus-menerus disinari oleh lampu kilat kamera. Lalu seorang lelaki bertopi yang membawa kamera video menghampiri Sekretaris Zhao.

“Saya dari stasiun TV,” ujar lelaki itu. “Bisakah Anda meminta mereka semua berbaris dalam satu barisan agar mereka tampak rapi di kamera?”

Sekretaris Zhao meminta pendapat wali kota yang ternyata menyetujui permintaan ini. Orang-orang penting itu kemudian membentuk satu barisan panjang dan mulai menggerak-gerakkan sapu mereka demi kamera, tak peduli ada kotoran atau tidak di atas permukaan tanah.

Kamerawan sudah hendak mengambil gambar ketika dia sekonyong-konyong berhenti dan berlari ke arah wali kota.

“Maaf, Yang Mulia,” ujarnya, “tapi Anda semua harus menghadap ke arah lain karena Anda semua memunggungi matahari. Selain itu saya juga ingin agar seluruh barisan berbalik agar Anda berada di paling depan.”

“Baiklah,” kata sang wali kota menyetujui dengan penuh semangat dan bergegas memimpin barisan, seperti sekawanan penari barongsai, dengan gerakan yang wagu. Tak lama mereka pun kembali menyapu. Dengan senang hati kamerawan itu berlari ke muka barisan, mengangkat ujung topinya, dan membidikkan kamera ke arah wali kota. “Baiklah,” katanya saat kamera mulai merekam adegan, “ayunkan sapu. Bersama-sama––lakukan dengan penuh penghayatan––ya, begitu! Tolong angkat dagu, Yang Mulia. Tahan––bagus––ya!”

Dia mematikan kamera, menjabat tangan sang wali kota, dan mengucapkan terima kasih karena telah berkenan membantu seorang reporter jelata menunaikan tugasnya.

“Mari kita sebut ini hari yang luar biasa,” ujar si petugas berpita lengan merah kepada Sekretaris Zhao. Lalu dia menoleh ke arah wali kota. “Anda telah berhasil menyelesaikan tugas mulia ini dengan gemilang,” ujarnya.

“Bagus––terima kasih sudah repot-repot,” sang wali kota berbasa-basi seraya tersenyum dan berjabatan tangan.

Beberapa wartawan datang memburu wali kota. “Ada pesan, Yang Mulia?” Seorang wartawan bertubuh tinggi kurus bertanya dengan amat bersemangat.

“Tak ada pesan khusus.” Wali kota berhenti berbicara sejenak. “Semua orang harus menjaga kebersihan kota.”

Rombongan wartawan itu menuliskan kata-kata berharga sang wali kota di buku catatan mereka.

Para polisi menyeret kembali gerobak dan semua orang mengembalikan sapu mereka. Sekretaris Zhao mengambil sapu di tangan wali kota dan menaruhnya di gerobak.

Saatnya pergi. Wali kota berjabat tangan lagi dengan semua orang.

“Selamat tinggal ––selamat tinggal–– selamat tinggal.” Yang lain menunggu wali kota masuk ke dalam limosinnya sebelum mereka masuk ke limosin masingmasing.

Limosin sang wali kota mengantarnya ke rumahnya. Di sana pelayan telah menyiapkan air mandi hangat dan sabun wangi serta handuk bersih. Dia menikmati mandi santai dan keluar dari kamar mandi dengan kulit kemerahan dan pakaian bersih, meninggalkan debu dan letih di dalam bak mandi.

Saat dia menuruni tangga rumah untuk makan malam, cucu lelakinya bergegas menyambutnya di ruang tengah.

“Kakek, lihat! Kakek ada di TV!” Di layar televisi sang wali kota tampak sedang melakukan pertunjukan menyapu jalan, layaknya seorang aktor. Dia membuang muka dan menepuk bahu cucunya.

“Itu tak perlu ditonton. Ayo kita makan.” (*)







Feng Jicai lahir di Tianjin, Tiongkok, 1942. Selain dikenal sebagai pengarang terkemuka, dia adalah pelukis pemenang penghargaan. Pada 1966, saat terjadi Revolusi Kebudayaan, buku-buku dan lukisannya dimusnahkan penguasa karena dianggap kontrarevolusi. Dia lalu dipaksa berhenti menulis dan melukis serta dihukum kerja paksa. Namun, diam-diam dia terus menulis meski tak dapat memublikasikan karya-karyanya yang kritis terhadap penguasa hingga 1977. Beberapa karyanya (dalam terjemahan bahasa Inggris) adalah The Boxers (1977) dan Voices from the Whirlwind: An Oral History of the Chinese Cultural Revolution (1991).

Cerpen ini diterjemahkan Anton Kurnia dari “The Street Sweeping Show” terjemahan Susan Wilf Chen dari bahasa Mandarin dalam antologi International Story, St Martin Press, New York, 1994, susunan Ruth Spack.

0 komentar:

Posting Komentar