Minggu, 09 April 2017

Tak Ada Pram di Semarang


Soesilo Toer / dok. pribadi
Terbit di Jawa Pos Edisi Minggu, 9 April 2017
Oleh: Mudihin M. Dahlan

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006 adalah sastrawan yang komplet. Ia adalah penulis yang prolifik, tapi sekaligus periset tangguh dan pendokumentasi yang tekun. Ia adalah pengarang yang introver, tapi sekaligus komunal. Ia si penyendiri yang berbahaya. Penjara menjadi hidup hariannya.

Sebagai sastrawan, dijelajahinya pelbagai genre karya. Kecuali komik dan puisi, ia pengarang prosa dan drama sejarah yang mumpuni, juga penyusun biografi dan otobiografi yang disiplin dengan data dan sumber, Pada akhirnya ia adalah sejawaran Indonesia yang unik, kata penerjemah karya-karyanya dalam bahasa Inggris Max Lane.

Siapa itu yang disebut sejarawan? "Sejarawan adalah mereka yang menulis sejarah. Dosen yang mengajar sejarah bukan sejarawan jika ia tidak menulis sejarah, Seorang guru sejarah tetap sebagai guru bukan sejarawan jika ia tidak menulis sejarah," kata Kuntowijoyo sebagaimana didengar sejarawan cum pemilik penerbit sejarah M. Nursam.

Sebagai penulis yang komplet, Pram bukan pengelana yang berjalan ke sana kemari dari satu kota ke kota lain. Pram bukan sosok pengembara, flaneur, asal kaki melangkah. Ia selalu punya alasan yang kuat untuk sampai pada suatu kota. Sadari ia adalah penulis yang introver, sekali lagi. Wilayah jelajahnya adalah dokumentasi. Jika bicara soal ini, poros perjalanan Pram sebetulnya hanya dua, yakni poros rumah-perpustakaan negara. Kalau poros terpaksa ditambahkan satu lagi, jadilah poros rumah-perpus negara-penjara negara. Poros terakhir adalah akibat dari dua poros sebelumnya.

Bagi Pram, setiap kota itu adalah tempat kehidupan tempat ia menyerahkan hidup dan sejarahnya tertulis dalam hiruk pikuk masyarakat. Ia menulis kota itu atau menjadikan sebuah kota sebagai latar dari setiap ceritanya. Jika kota itu terbangun interaksi yang menyumbang lukisan hitam-putih takdir kreatifnya.

Paling tidak hanya lima kota yang paling banyak mengisap kenangannya -- dan karena itu menjadi latar karya-karyanya. Tiga kota pertama adalah JBS (Jakarta, Blora, dan Surabaya). Blora adalah kota kecil di Jawa Tengah yang menjadi gelanggang pemupukan kreatif dan menyumbang kenangan-kenangan yang pahit. Antologi cerpen Cerita dari Blora menjadi pemadatan bagaimana kenangan atas kota yang melahirkan pembangkang macam Samin dan Arya Penangsang itu bertubrukan sedemikian rupa dengan kisah-sakit keluarganya.

Lain lagi di Surabaya. Ini kota impian Pram sebetulnya, tapi impi-impi itu dirampas perang dan revolusi. Remaja yang mengimpikan menjadi teknisi radio di sebuah SMK di Surabaya itu mesti pulang kampung dan mendapat nasib yang tak menentu serupa gelandangan. Dalam cerita revolusi itu nasibnya seperti teroris perang yang diburu Jepang, sebagaimana dikisahkan dengan menarik dalam novel Perburuan.

Karena dendam itulah, Surabaya menjelma menjadi kota impian. Beberapa kali memang Pram memasuki kota ini, sekadar singgah atau dalam kerangka melakukan riset. Surabaya yang menjadi kota impian yang melahirkan aktor-aktor pergerakan nasional dengan triumvirat ideologi (nasionalisme, komunisme, dan Islamisme) kemudian dijadikan Pram sebagai kota yang mendunia berkat roman kuartet Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

Jakarta adalah ibu kota segala kreativitas Pram, mulai saat masih sebagai sastrawan berak (Idrus bilang begitu) hingga sekolah, kawin-mawin, kerja menjadi editor, ddan wartawan, berorganisasi, berpolitik, berpolemik, menulis banyak sekali cerita, hingga ia wafat dan dikuburkan. Jakarta adalah segalanya bagi Pram, termasuk semua sumur bahagia dan derita tak bertara bertumpukan tak keruan di kota yang menjanjikan apa saja itu.

Ada tiga daerah dan satu pulau lagi yang mesti saya sebutkan, yakni Bekasi, Banten, Buru, Jepara, Rembang (3BJR). Jepara penting karena di sinilah Pram turun langsung menjadi pemimpin riset biografi Kartini. Biografi Panggil Aku Kartini Saja itu adalah riset kolaborasi dengan tujuan khusus mengegolkan Kartini sebagai pahlawan nasional. Lekra dan Gerwani membangun aliansi menjadikan Kartini pahlawan baru dari kelompok kiri. Pram turun ke Jepara untuk tujuan riset yang mulia ini.

Adapun Rembang, Banten, dan Bekasi tak terlalu signifikan, tapi layak disebutkan. Rembang adalah darah masa silam Pram yang pengisahannya kita bisa temukan di Gadis Pantai, roman biografis yang mengaduk-aduk emosi. Bekasi adalah kota lewatan bagi Pram karena terdesak perang di Jakarta, namun punya kesan mendalam. Terutama batas akhir Pram sebagai seorang tentara dengan keahlian memanggul radio komunikasi.

Banten, sebagaimana langsung terbaca dalam judul novel tipis Sekali Peristiwa di Banten Selatan, adalah satu-satunya sumbangan prosa Pram saat ia menjadi kuda sembrani pemarah di Lekra. Novel propaganda pembangun perevolusi itu digubah aktris Dahlia menjadi drama dua babak. Dipentaskan keliling dari DKI Jakarta hingga Sumatera Timur. Pementasan naskah lakon adaptasi itu dilarang di beberapa kota, termasuk Riau.

Satu-satunya pulau yang nyaris merampas semua yang dimiliki Pram, bahkan takdir-bebas, adalah Buru. Pram ke sini bukan sebagai flaneur atau turis lokal bervakansi. Ia di sini menyerahkan segala yang dipunyai dengan kapal yang penuh berak manusia manusia kiri dari Jawa untuk sebuah “konsekuensi politik” yang dijalaninya. Sekaligus, Buru memballik tenaga yang diambil paksa negara menjadi kekuatan kreatif yang bergejolak. Roman-roman pentingnya dan sebuah memoar briliannya lahir di kepualauan di Maluku ini. Sebut saja tetralogy Pulau Buru, tetralogy Arok Dedes (Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir), serta biografi Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Dan, saya di sini, Minggu, 9 April 2017, di Kota Semarang, membicarakan Pram atas undangan sarekat penerbit indie di Jogjakarta (Pocer Fans Club) dalam pergelaran Semarang Senjata Buku (SSB). Semarang memang melahirkan sebuah partai kiri paling radikal dan gemilang di masa silam yang jauh, Partai Komunis Indonesia. Tapi, di kota merah yang melahirkan gelombang pergerkan kiri-mentok itu, Pram tak ada.

Nama kota yang saat ini digeruduk petani-petani Kendenga cinta bumi untuk melawan “Gubernur Jenderal’ Ganjar Pranowo itu tertulis buku Jalan Raya Pos. Tapi, Anda tahu sendiri, buku tersebut bukan buku ekspedisi seperti yang dilakukan jurnalis-jurnalis dalam “Ekspedisi Anyer Panarukan”. Pram menuliskannya dalam rumah dengan sumbangan data-data pustaka pihak lain.

Pram betul-betul tak ada di Semarang, kota yang berjarak 129 km dari kabupaten tempat Pram lahir. Carilah secara saksama. Yang ada di sisi saya duduk sebagai narasumber adalah adik bungsu kesayangannya, yang juga seorang master dan dottor lulusan Universitas Patrice Lumumba dan Institut Plekhanov Uni Soviet, penulis, serta pustawakan bernyali Soesilo Toer.

Panjang umur, Pak Soes! (*)

Muhidin M. Dahlan, pendiri @radiobuku dan @warungarsip

* disalin dari Jawa Pos

0 komentar:

Posting Komentar