Minggu, 09 April 2017

Tuan Tanah

Cerpen Indah Darmastuti (Jawa Pos, 20 Maret 2016)
Ilustrasi Bagus / Jawa Pos
KULETAKKAN gagang telepon setelah suara di seberang sana mengucap “terima kasih, selamat malam.” Debar jantungku masih kencang. Aku harus secepatnya mencari tiket pulang untuk kakak. Dia tidak boleh terlalu lama tinggal di sana, atau sesuatu yang buruk akan menimpanya. Oh, tidak! Itu tak boleh terjadi. Paling lambat besok sore aku harus sudah mendapatkan tiket. Saat ini sudah terlalu larut untuk mengurusnya. Penerbangan apa pun tak jadi soal yang pen ting secepatnya bisa membawanya pulang.


Kabar tengah malam itu sungguh buruk. Berpotensi membuat insomniaku kumat. Aku masih shock dan tertekan oleh kabar dari Anastasia, perempuan yang mengaku kawan kakak. Sekitar lima jam yang lalu, kakak kejang-kejang. Itu kali ketiga kakak tiba-tiba roboh ke tanah lalu kejang dengan mata membeliak. Membuat penduduk setempat tercekam ngeri dan ketakutan.

Kitorang sangat khawatir. Kemungkinan ada yang tra suka pada Lucia. Lalu dorang meminta bantuan ‘tuan tanah’ untuk membuat Lucia sakit kejang. Para tetua su melakukan ritual pengusiran roh jahat tiga minggu lalu saat Lucia kejang yang kedua. Tetapi tra ada artinya. Buktinya, hari ini Lucia kejang lagi.” Suara dengan logat khas Indonesia Timur itu menuturkan. Ia mengaku tinggal tak jauh dari rumah kakak.

“Tuan tanah?”

“Betul. Tuan tanah itu roh jahat yang menguasai lautan, hutan, lembah-lembah kegelapan. Kitorang takut tuan tanah akan memangsa Lucia,” Aau tergugu.

“Apakah kakak Lucia punya musuh di sana?”

“Setahu sa tra ada musuh,” buru-buru Anastasia menjawab yakin.

“Maaf, kami merepotkan kawan-kawan di sana.”

Tra soal. Kitorang hanya khawatirkan Lucia.”

Aku menggigit bibir. Lalu apa? Kakakku tak punya musuh, karena memang dia perempuan yang baik hati, aku yakin itu. Tidak gegabah dalam bertindak, sedikit tertutup dan cukup pendiam. Lemah lembut dan manis budi bahasanya. Lantas apa yang menjadi alasan sehingga ia dibenci entah siapa sehingga mereka tega mencelakai kakak.

Atau mungkin pikiran kacau dan hati kosong sangat mudah dirasuki roh jahat yang penasaran lalu mencari mangsa. Dulu aku sempat curiga kepergian kakak karena ia ingin pergi sejauh mungkin dari Yudha, kawan kantor yang telah memutus cintanya lalu menikahi kawan dekat kakak. Ketika kusampaikan itu, kakak membantah. Kakak ngotot bahwa kepergiannya bukan karena patah hati, bukan karena ingin membuang kepedihan dengan pergi menyeberang laut bermil-mil jauhnya. Tetapi kakak pergi karena memang ingin pergi.

Aku risau. Menyesal mengapa dulu tak bisa menahan kakak agar tak pergi. Bagaimana pun pergi dalam keadaan jiwa terguncang pastinya sangat riskan, apalagi ia pergi seorang diri. Tetapi kakak tak terbelokkan. Lemah lembut pembawaannya sangat bertolak belakang dengan kemauannya yang keras, sekeras jalan hidup kami sepeninggal ayah dan ibu di hari nahas itu.

“Sudah kamu pikirkan dengan matang, Luci?” Tante menyangsikan.

“Sudah tante. Luci yakin, seandainya ayah dan ibu masih hidup, pasti mereka tak keberatan dengan keputusan Luci. Bahkan mereka pasti mendukung Luci untuk hidup mengabdi.”

“Tega sekali kakak pergi meninggalkan aku. Kita hanya dua bersaudara. Mengapa kita harus berjauhan?” rajukku setengah putus asa waktu itu.

“Hidup kita ini bukan hanya milik kita pribadi, Karin. Tetapi milik orang lain juga. Apa salahnya kakak pergi untuk membaginya kepada anak-anak di pelosok sana?”

“Tetapi kakak belum pernah ke sana. Hanya ada kenalan yang sudah lama tidak bertemu. Apakah itu sebuah jaminan?”

“Pada hakikatnya hidup kita adalah laku dan seorang diri saja menjalani. Kita lahir juga belum tahu seperti apa dunia yang akan kita tinggali. Dan kita baik-baik saja.”

“Itu beda, Kak. Kita lahir ditunggui dan dinanti oleh orang-orang tercinta.”

“Tahu dari mana? Kita tak pernah diberi tahu sebelumnya. Dan kakak yakin di sana pun kakak dinanti oleh berpasang-pasang mata lugu, berpasang tangan kecil yang menyambut tangan kakak. Yakinlah, kakak akan baik-baik saja.” Segala protesku dan ungkapan keberatan dari om dan tante tak membengkokkan hati kakak.

Dulu saat berangkat, ia berjanji setelah dua atau tiga tahun mengabdi, mengajar di pedalaman, ia akan kembali. Tetapi belum genap satu tahun, aku menerima kabar buruk, beberapa jam yang lalu.

Selama ini kakak tak pernah menceritakan ada persoalan dengan kawan atau entah siapa. Tidak! Kakak baik-baik saja. Atau kakak sengaja menyembunyikannya, mengingat ia memang penyendiri dan tertutup.

Masih kuingat sepuluh bulan lalu, pagi buta kakak berangkat. Kuantar menuju bandara. Jaket biru tua membalut tubuh mungil dan kulit langsatnya. Rambut hitam ikal panjang tergerai. Tangannya menyengkeram handle travelbag saat ia pamit untuk check-in. Aku dan dia saling melambai tangan, kupesan agar menjaga kesehatan, dan jangan sampai lupa memberi kabar.

“Aku akan selalu kangen padamu!” ucapku dengan hati haru.

“Aku pun sama. Jaga diri baik-baik, adikku.” Air mataku nyaris tumpah kala itu. Tetapi keteguhan hati kakakku sudah cukup menghiburku, bahwa ia akan baik-baik saja di seberang laut Arafura. Aku yakinkan diri bahwa kelembutan hati dan keluhuran cita-citanya akan sanggup menaklukkan kerasnya hidup jauh dari keluarga.

Aku menoleh pada jam dinding. Hari sudah berganti. Aku kembali ke kamar. Mas Odie terjaga, duduk di kursi samping tempat tidur. “Ada apa? Aku terjaga kamu tak ada.”

“Soal kakak. Besok kita harus mencari tiket pulang untuk kakak.”

“Semendadak ini?”

“Kawannya tadi menelepon. Kakak kejang-kejang. Sudah tiga kali terjadi. Menurut mereka, kakak diganggu ‘tuan tanah’—roh jahat penguasa kegelapan. Mereka khawatir kakak akan dimangsa.”

“Sungguh begitu?”

“Tetua di sana sudah mengadakan ritual untuk mengusir roh jahat itu. Intinya kakak harus pulang. Aku tak mau sesuatu terjadi atas dia.”

“Baiklah, kita pikirkan besok. Sekarang tidurlah. Sudah dini hari ini. Aku akan mengurus dan mencarikan tiket untuk kakak, besok.”

Esoknya, sebelum aku dan Mas Odie mencari tiket, aku menelepon kakak untuk segala persyaratannya. Dan ia menjawab dengan suara biasa-biasa saja. Tak ada hal yang mencurigakan. Saat aku mengatakan bahwa kami sedang mengurus tiket untuk kepulangannya, ia terdiam agak lama.

“Mengapa, Karin? Mengapa aku harus pulang? Kau baik-baik saja, kan? Atau kerabat kita ada yang sakit?” pertanyaan kakak tak putus-putus itu membuatku bingung.

“Aku tak ingin sesuatu terjadi pada kakak. Pokoknya kami ingin kakak pulang.” Hening. Ada desah napas kakak, halus dan pelan.

“Ada yang meneleponku semalam. Mengabarkan bahwa kakak sakit. Untuk kali ini aku mau kakak tidak membantah dan menurutlah kepada kami. Kami tak mau kakak celaka.” Ada suara tarikan napas dari sana, dalam dan berat. Baru akhirnya kakak mengatakan: “Baiklah.”

Tetapi ternyata tak semudah yang kami sangka. Untuk memulangkan kakak harus menyelesaikan banyak hal, dan menyesuaikan banyak jadwal. Sehingga baru seminggu kemudian tiket pulang untuk kakak bisa kami dapatkan.

Siang menjelang sore itu, aku dan Mas Odie menjemput kakak di bandara yang sama dengan sepuluh tahun lalu saat aku mengantarnya. Berkali-kali Mas Odie mengingatkan agar aku tak terlalu cemas.

“Dan bersikaplah sewajarnya, agar kakak tak merasa bersalah telah membuatmu repot, Karin. Kamu tahu watak kakakmu. Kamu harus melihat dia sebagai kakak yang hebat dan tegar. Kamu harus menyambutnya sebagai kakak yang sehat dan sangat kamu rindukan. Jangan kau sambut dengan belas kasihan.” Aku mengiyakan sambil tersenyum, betapa suamiku sangat pintar mengambil hati kakak kala itu, kakak yang menjadi pengganti orang tuaku.

Dari mikrofon suara lembut namun tegas terdengar, mengabarkan bahwa pesawat dari ujung timur akan segera mendarat. Tak bisa ditipu kalau aku berdebar karena cemas dan rindu. Kuremas-remas jari tanganku, sambil mata mencari sosok mungil berkulit langsat.

“Kakaaak…,” teriakku pada perempuan berambut ikal. Ia melambai. Tawa lebar dan mata berbinar. Kami berpelukan erat dan sangat lama. Tanpa basa-basi kami langsung bergandengan beriringan dengan Mas Odie menuju mobil yang kami parkir sedikit jauh. Aku mengamati kakakku biasa-biasa saja. Malah badannya lebih berisi, kulit pipinya tampak segar. Tetapi sedetik kemudian, ia tampak gusar. Lalu kami tersedot hening.

“Penerbangannya menyenangkan?” tanya Mas Odie.

Ia mengangguk.

“Kita mampir cari makan dulu. Ada makanan yang dikangeni kakak? Nasi liwet? Nasi gudeg? Timlo? Bakso? Atau?” tanya Mas Odie lagi.

“Apakah di rumah tidak ada makanan? Aku lelah, ingin lekas istirahat.”

“Oh, kalau begitu, kita beli yang berkuah panas, kita bawa pulang saja.” Putusku dan langsung mengorder Mas Odie untuk segera menuju restoran langganan.

Sesampai di rumah, kuurus semua bawaan kakak dan kuminta ia segera mandi lalu istirahat, sementara Mas Odie menyiapkan makan malam dan memasak air untuk membuat teh panas.

Tiba-tiba, di depan kamarku ada suara gedebug dan teriakan cukup keras. Ada yang roboh. Nyaris bersamaan aku dan Mas Odie berlari mendekat. Kakakku tergeletak di dekat pintu. Bola matanya hanya terlihat bagian putihnya. Tangan dan kakinya kejang-kejang. Mulutnya penuh busa. Kami berdua gugup berpandangan.

“Epilepsi!” Gumam Mas Odie berusaha tenang. Beberapa saat kami terkurung diam sebelum akhirnya Mas Odie mengangkat kakak, ia pindahkan ke sofa dan kunyalakan kipas angin.

“Ini bukan pekerjaan ‘tuan tanah’, Karin. Tetapi…” Mas Odie menatapku.

“Teleponlah kawanmu yang dokter itu. Segera! Tanyakan apa yang harus kita lakukan.” Air mataku berderai. Sejak kapan kakakku menderita ayan? Sejak kapan dia menderita epilepsi? Tangisku tak juga terhenti. ***

0 komentar:

Posting Komentar