Kamis, 13 April 2017

Dering

Cerpen Wina Bojonegoro (Jawa Pos, 10 April 2016)
Ilustrasi Bagus / Jawa Pos




TEPAT pada dering ketiga aku mengangkat telepon wireless di meja kayu mahoni berwarna cokelat kemerahan itu.

“Hallo…” Suaraku rendah dan datar seperti lazimnya suara manusia di pagi hari, malas.

“Eh, sejak kapan boleh terima telepon dengan kata hallo…??” Aku tersambar petir, rasanya begitu. Suara itu…

“Ken… ayo ulangi!!” Terdengar suara telepon di seberang diletakkan sembarangan. Suaranya terdengar ngilu. Kepalaku pening mendadak. Dengan gerakan zombie aku meletakkan telepon tanpa kabel pada tempat duduknya.Suara itu…

Kriiingg…!!

Nyaring suara deringnya, terasa lebih kuat dari sebelumnya. Pada dering keempat aku baru mengangkatnya, setelah berhenti menatap telepon itu dengan pikiran kosong dan linglung.

“Ssss… Selamat pagi…” Aku bahkan mendengar kegugupanku sendiri.

“Nah, begitu dong. Tapi kau terlambat satu dering. Seharusnya mengangkat telepon itu tak boleh lebih dari tiga kali dering.”

Suara itu lagi…

“Ibu…?” Bibirku menyebutnya secara otomatis.

“Iya, siapa lagi? Mana ada suara kembar? Apa kau sudah lupa suara ibumu?”

“Tttt…tapi…Bu…bukankah…”

“Tenang saja, Ken. Jangan mencemaskan apa pun. Semuanya baik-baik saja. Aku di sini bahagia.”

“Bbb…bukankah Ibu…??”

“Psstttt… jangan bilang-bilang, ini rahasia di antara kita berdua. Berhentilah menggunakan wajah bloon yang biasanya itu.”

“Tttt…tapi…bbb…”

“Ibu bersyukur kamu tidak mengganti nomor telepon rumah kita. Atau memutusnya dari perusahaan telepon. Kasihan mereka bisa rugi. Ingat, kau dibesarkan dari gaji Ibu sebagai pegawai Telkom.”

“Bbb…bb…Bu…”

“Jadi sekarang Ibu bisa mendengar suaramu. Kalau tidak… pasti Ibu akan menderita tak bisa mendengar suaramu.”

“Ibu…aa…aakuuu…”

“Ssshhh…berhentilah gugup. Ken, ibu kangeeennn banget. Kamu kangen tidak pada Ibu?”

Tiba-tiba air mata berdesakan dari kelopak mataku. Suara dan lagu itu tak pernah berubah, tetap milik ibu. Persis seperti saat aku kanak-kanak. Ketika ibu sedang berdinas keluar kota, tiap menelepon ibu akan menggunakan kalimat pertanyaan yang sama, dengan lagu yang sama pula.

“Kamu tidak kangen? Ugh… anak laki-laki Ibu sudah dewasa ya, tidak lagi kangen pada ibunya. Kamu tahu tidak, di sini segalanya indah, indah banget. Tapi Ibu tidak bahagia. Ibu selalu teringat kamu Ken. Ibu lupa mengajari istrimu memasak sayur jantung pisang kesayanganmu itu. Kau pasti merindukan masakan itu. Ibu juga belum sempat mengajari istrimu bagaimana cara mengolah sayur pare agar tidak terasa pahit. Itu ilmu standar seorang istri Indonesia, istrimu seharusnya bisa. Dia sudah pandai masak apa?”

Ya ampun. Ibu… suaranya masih renyah dan tetap seperti dulu. Aku nyaris saja mengatakan pada ibu bahwa Aulia, istriku, sudah pandai membuat nasi goreng ala Kanton. Tapi mendadak Aulia muncul di dekatku sembari menyodorkan teh panas dalam cangkir.

“Ken… hallo… Ken…” Suara ibu terdengar mendesak. Karena tak ada jawaban dariku, suara telepon di sana dimatikan. Aulia menatapku penuh tanya. Tubuhku beku, berdiri gamang di dekat meja telepon.

“Siapa, Mas?” Tanya Aulia penuh selidik. Aku menggeleng. Istriku tidak percaya pada jawabanku berupa gelengan kepala tadi. Ia merebut telepon nirkabel di tanganku. Ia mencari-cari nomor telepon yang masuk melalui menu receiving number.

“Itu tadi nomor dari mana, Mas?’’ Aku menggeleng.

“Kenapa tidak ada nomor telepon tertinggal di sini? Harusnya kan ada data penelepon yang tersimpan?”

“Mungkin dirahasiakan nomornya.”

“Tapi tadi itu siapa?”

“Bukan siapa-siapa…”

Sejak itu istriku menaruh curiga. Seharian aku tak dapat bekerja. Mengingat-ingat suara ibu yang begitu jernih dan tetap ceria seperti dahulu kala. Saat masih sehat dan belum mengalami berbagai gangguan fisik dan psikis. Terakhir kali kudengar suaranya adalah empat tahun lalu, saat suara lemahnya merintih di dekat telingaku.

“Ken, jika boleh meminta, Ibu ingin euthanasia.” Kalimat itu, waktu itu membuatku membenci ibu. Permintaan absurd. Bagaimana mungkin ibuku yang gagah dan selalu ceria mendadak ingin menyerah hanya karena menderita penyakit autoimun yang diidapnya sejak berusia 49 tahun. Empat tahun lalu ibu telah berusia 55 tahun. Jadi telah enam tahun ibu hidup berdampingan dengan penyakit lupus. Selama itu ibu sering mengalami banyak hal. Derita ruam kulit, pembengkakan sendi, anemia, pingsan bertubi-tubi, bahkan halusinasi.

Kami semua tidak paham apa yang dialami ibu, hingga suatu hari, setelah bertubi-tubi menjalani uji klinis dan diagnosa, akhirnya para dokter sampai pada kesimpulan: ibu menderita autoimun atau lupus. Ibu tahu betapa aku dan istriku berusaha merawat, membantu, menyembuhkan. Tetapi semua tahu bahwa penyakit lupus belum bisa disembuhkan. Bahkan sebabnya pun belum diketahui jelas. Ia seperti hantu. Tiba-tiba saja datang tanpa permisi. Serta merta ibu menjadi manusia yang serba tergantung. Keperkasaan, kemandirian dan segala label dalam dirinya lenyap perlahan, lapis demi lapis. Obat yang diminumnya hanya bertugas mengurangi rasa sakit, atau menahan efek samping lebih lanjut, misalnya merambat pada gangguan jantung, ginjal, dan lain-lain. Ketika kami berjuang demikian rupa, tiba-tiba ibu melontarkan kata itu, euthanasia! Mana mungkin bisa di negeri ini? Euthanasia hanya berlaku di negara-negara liberal.

“Ken, Ibu tak mau merepotkanmu. Jadi biarkan Ibu mati saja…” Itu kalimat pamungkas yang membuatku benci pada ibu. Kemudian memilih diam, tidak bicara dengan ibu beberapa waktu lamanya. Hingga…

Kriiingg…!!

Dering kedua, aku mengangkatnya.

“Selamat pagi…” Suaraku kubuat sedikit lebih semangat.

“Nah, begitu, itu lebih baik, persis seperti yang Ibu ajarkan.”

“Ibu…”

“Bicaralah yang banyak, Ken. Ibu kangen.”

Mataku kembali panas. Segala rasa rindu selama ini kupendam mendadak berdesakan ingin tumpah. Segala kenangan yang bertumpuk dan tersusun sejak kanak-kanak, kini berjubal-jubal secara sporadis. Mereka ingin dilahirkan.

“Aku ingin Ibu menyanyi, seperti biasanya sebelum tidur…”

“Oh pasti, nanti Ibu lakukan.”

“Ibu memasak untuk makan malam, menambal seragam yang robek, berlari-lari ke sekolah tanpa riasan ketika aku jatuh di sekolah…”

“Oh, hahaha… Kau nakal sekali. Membuat Ibu melupakan segala topeng kecantikan itu, hanya mendengar kepala sekolah berkata: Ken jatuh.”

“Aku merindukan Ibu.”

“Ibu juga Ken. Apakah istrimu sudah bisa memasak sayur jantung pisang?”

Tiba-tiba Aulia bediri di sampingku.

“Ibu yang mana yang kau rindukan?”

Kuletakkan gagang telepon setelah terdengar suara nging panjang di seberang.

“Ibuku, tentu saja ibuku.”

“Bukankah beliau sudah berpulang?”

“Memang.”

“Lalu kau bicara dengan siapa itu tadi?”

Aku kehilangan kalimat menjelaskannya. Tetapi jika aku tidak jujur, istrikau pasti akan menuduhku selingkuh. Aku punya perempuan simpanan. Demi mengamankan diri, aku menjawab: “Itu tadi telepon ibu…”

“Ibu mana lagi?”

“Ibuku, Aulia…”

“Memangnya kau punya ibu berapa?”

“Hanya satu, tentu saja.”

“Apakah arwah ibu bisa menelepon orang yang masih hidup?”

Sampai di situ aku kembali kehilangan kata-kata. Lagipula berdebat adalah keahlian Aulia. Satu hal yang membuatku jatuh cinta ketika dalam seminar ataupun kegiatan debat publik di kampus, di mana pun, Aulia selalu memiliki pertanyaan-pertanyaan tajam yang mampu membunuh siapa pun di atas podium atau mimbar. Ternyata keahlian itu sekarang perlahan-lahan mulai mengancamku.

***

Hari ini, Minggu. Aku tengah mencari hiburan pada halaman koran Minggu untuk menghibur diri. Biasanya ada lelucon, komik, TTS, puisi galau atau bahkan cerita pendek absurd yang membuatku tertawa ketika membacanya. Para seniman memang pandai membuat khayalan-khayalan, hal mana orang waras dan otak kiri tak sudi melakukannya. Dering telepon bernyanyi. Kepalaku mendadak siaga. Apakah ini telepon dari surga lagi? Ibuku lagi? Mataku mencari-cari di mana posisi Aulia, berharap aku menerima telepon tanpa diketahui olehnya.

“Selamat pagi.”

“Ken!!” Benar itu suara Ibu. “Kau keren sekali, mengangkat telepon pada dering pertama.”

“Ibu yang mengajarkannya,” jawabku.

“Istrimu curiga ya?”

“Iya Bu, dia bertanya-tanya, telepon dari siapa kok tidak ada nomor pengirimnya?”

“Nanti kalau dia datang, biarkan aku bicara padanya.”

Sekian detik kemudian, seperti yang kucemaskan, Aulia datang. Aku memberikan gagang telepon itu kepadanya.

“Ibu ingin bicara denganmu…”

Aulia menerima gagang telepon dengan mata membulat bertanya-tanya.

“Hallo… Ibu… Hallo…” Begitu berulang-ulang. Aulia hanya berkata hallo hallo tanpa terdengar adanya percakapan. Kemudian ia meletakkan telepon dengan masgul.

“Mas, jangan mengigau. Itu tadi tidak ada suara apa-apa. Lagipula, mana mungkin arwah bisa menelepon? Ada-ada saja. Sudah saatnya kau kubawa ke psikiater. Aku menatap istriku dan telepon itu bergantian, dengan perasaan gundah. Tidak mungkin aku berbohong pada istriku. Tidak mungkin juga aku bicara dengan hantu. Itu tadi jelas suara ibu. Sejak itu aku selalu menunggu telepon dari ibu, hanya sekadar menunjukkan pada istriku bahwa telepon itu nyata. Suara itu benar milik ibu.

Dering telepon kemudian menjadi sesuatu yang sangat aku tunggu. Pertama mungkin karena rindu pada ibu, tetapi hal paling penting aku tak ingin dikatakan sebagai tukang khayal oleh Aulia, istriku. Maka dering itu sangat penting. Tetapi tiap ibu menelepon, dan aku menyerahkan gagang telepon pada Aulia, selalu ia tak dapat mendengar suara ibu. Lambat laun ia mengataiku sebagai tukang khayal, gemar berhalusinasi.

***

Seorang perawat tersenyum menatapku. Ia tengah mencoba memasukkan jarum infus ke dalam nadiku. Sementara di luar sana, di balik pintu kaca, kulihat Aulia tengah berdiri menatapku dengan wajah sembab. (*)





WINA BOJONEGORO, penulis yang juga pengusaha. Tinggal di Sidoarjo. Bukunya, antara lain, The Soul Fantasia (2012) dan Negeri Atap Angin (2013). Yang segera terbit kumpulan cerpen Mozaik Kota Kenangan (2016).

0 komentar:

Posting Komentar