Kamis, 13 April 2017

Musiklehrer

Cerpen Sahasra Sahasika (Jawa Pos, 17 April 2016)
Ilustrasi Bagus / Jawa Pos


FRUSTRASI karena aransmen dari beberapa arranger yang dibayar mahal selalu gagal mengantar Stimme ke tangga juara, kami memutuskan untuk “memakai” laki-laki yang dari namanya kami kira berdarah Warsawa itu: Innev Zladek. Laki-laki yang numpang lahir di Lubuklinggau—karena sejak berumur dua bulan dia sudah diboyong orang tuanya ke Gelsenkirchen—yang menafikan matematika dalam membuat komposisi. Kami menjadi anak-anak keledai yang mengikuti ringkikan induknya. Ketika ia meminta Borris membunyikan lirik pada nada sol rendah, atau meminta Leidy mengeluarkan head-voice pada chorus terakhir, atau memintaku menstabilkan longtone tanpa crescendo, ia mengingatkan kami pada beberapa pelatih vokal sebelumnya. Ia tampil sebagai arranger yang meyakinkan.

Ivy, begitu ia minta dipanggil, sangat membenci vibrato—saban kami memberi getaran pada akhir lirik (terutama yang panjang), dia selalu bilang kalau kami sedang menirukan suara burung cockatiel yang sedang demam karena salju Nordrhein yang menusuk. Kami tak ambil peduli. Kami menganggap itu ekspresi jiwa musikalnya yang genuine, yang nyentrik, sebagaimana lagak sebagian besar seniman yang berasal dari negara bagian Koeln.

Kami memang sempat menyerang Krisbee habis-habisan. Pemuda itulah yang menyarankan kami untuk memakai jasa arranger—yang kami kira—abal-abal itu. Walaupun setelah kami pikir-pikir, adalah tak adil memperlakukan spesialisasi tenor itu hingga membuatnya sangat bersalah. Bagaimanapun dia hanya mencuatkan usulan. Di saat-saat genting, pikiran memang kehilangan kebeningannya. Dan usulan gilanya seperti keju schooregg yang dimasukkan ke dalam kaldu mendidih di dalam kepala kami. Kami tak mampu membedakan mana yang masuk akal mana yang sensasionial.

“Aku pernah menyaksikan paduan suara binaannya tampil di sebuah kaiserarouge, kompetisi lagu hymne, di Kallmunz. Setelah kucari tahu, dia tak membuka kelas, tapi melatih di waktu luangnya. Dan semua paduan suara dan grup vokal yang dilatihnya selalu masuk tiga besar kompetisi hingga tingkat Eropa Tengah,” ujar Krisbee di tengah keputusasaan yang mendera kami.

“Kau yakin laki-laki Asia itu bisa membawa Stimme memenangkan mini-choir di Skotlandia?” tanya Haas, mahasiswa dua puluh satu tahun yang tak pernah bermasalah dengan kertas partitur yang meletakkan nada setinggi apa pun pada posisinya. Falsettonya setara dengan vokalis Savage Garden.

Kami ingat sekali, Krisbee tak berkomentar. Ketua Stimme itu seperti bermain aman, tak mau menjanjikan apa-apa. Mungkin juga ia sudah tahu kalau dua bulan kemudian semuanya akan menjadi lebih buruk.

“Dia punya syarat,” ujar Krisbee yang membuat kami semua mendongak dan menajamkan gendang telinga.

“Harus ada di antara kita yang bisa memainkan alat musik melodis,” lanjut Krisbee.

“Piano?” sambar Beier dengan nada meledek.

“Atau gitar?” imbuh Jenn.

“Atau harpa?” Leidy tak mau kalah.

“Atau drum?” Aku mencoba membuat lelucon, dan gagal. Drum adalah alat musik yang mengeluarkan bunyi ritmis, bukan melodis.

Semua anggota Stimme memang mahir memainkan sejumlah alat musik. Jadi syarat yang arranger dua puluh sembilan tahun itu ajukan terdengar mengada-ada. Walaupun kami tahu, ada hal lain yang ingin Krisbee sampaikan.

“Jangan pernah memintanya memainkan alat musik apa pun,” Krisbee memberi penekanan khusus pada kata “memainkan”—inilah inti pembicarannya.

“Sejak kapan arranger mengidap phobia alat musik?” Aku lupa, siapa yang menyahut dengan nada skeptis itu. Yang jelas, kami akhirnya sepakat untuk “memakai” Ivy.

“Ia ingin kita latihan di pekarangan belakangnya. Dia tak butuh tempat kedap suara, katanya. Hutan oak yang berbatasan langsung dengan pondok kecil tempat ia biasa menulis, sudah cukup rimbun untuk membuat suara tidak ke mana-mana,” Krisbee benar-benar sukses menjadi penyambung lidah Ivy.

“Kita bayar…”

“Percuma. Kita sewa apartemen pun dia takkan mau. Di Gelsenkirchen, dia punya seorang putri yang belum genap 1,2 tahun dan seorang istri yang tengah hamil 7 bulan. Aku sudah melobinya mati-matian, menjelaskan kepadanya betapa berharganya kompetisi di Inggris Raya itu bagi Stimme, bagi Unee Musica. Kau tak bisa membayar harga dirinya!” Krisbee sedikit emosi. Ia baru saja menenggelamkan keangkuhan Schmidtz, anggota yang paling tajir di antara kami.

***

UNEE Musica da Wolfsburg, lembaga musik semiotonom yang bergantung pada anggaran pemerintah terancam dibubarkan apabila tahun ini kami tidak mampu mempersembahkan piala bagi wali kota. Dalam beberapa festival musik dan lagu, kami memang selalu mampu merepotkan para juara, tapi selau gagal naik podium. Bulan Januari lalu, dalam lomba lagu klasik di Leiden University, Leidy berada di posisi ke-4 dari 112 peserta. Grup musik kontemporer kami juga meraih posisi yang sama, kali ini dari 88 peserta, dalam Contemporary Art Festival yang diadakan di Southampton. Terakhir, aku meraih peringkat yang sama—aku lupa dari berapa peserta karena menurutku tak penting lagi—dalam obiedich, pekan seni mahasiswa se-Jerman. Malangnya, semua event itu tak menyediakan piala, piagam, atau sekadar surat keterangan bahwa kami meraih juara harapan pertama. Tidak ada.

Ya, bagaimana mungkin Ecker Inza, orang nomor satu di Wolfsburg itu, akan menandatangani anggaran bagi Unee Musica jika kami tak mampu mengharumkan nama Wolfsburg di sejumlah event. Kami hanya punya satu kesempatan lagi: European Mini-Choir Invitation di Glasgow tiga bulan lagi. Tak ada pilihan lain, Stimme harus memanfaatkan kesempatan ini. Hampir dua bulan, kami naik trem ke Gelsenkirchen saban Jumat malam dan kembali ke Wolfsburg pada Minggu malamnya. Benar saja, Ivy melatih kami dengan cara yang kontroversial. Ivy membuat komposisi vokal tanpa kertas partitur! Di belakangnya, Hanna menyebut Ivy udik, Haas menyebutnya konvensional, Leidy menyebutnya kuno, Schmidtz menyebutnya tak masuk akal, Jenn menyebutnya gila!

“Kalaupun itu sebuah keharusan, silakan buat sendiri setelah kalian mampu membawakan aransemen ini secara utuh,” ujar Ivy cuek ketika mendengar bahwa salah satu syarat wajib lomba itu adalah menyerahkan partitur aransemen baru kepada panitia karena itu bagian penilaian oleh juri.

Kami tak menjawab. Keraguan mulai merayapi. Tapi keinginan untuk memenangkan kejuaraan membuat kami mengabaikan kesangsian.

Lagu yang kami pelajari adalah La Boheme-nya Charles Aznavour, penyanyi legendaries Armenia-Prancis yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Armenia pada 2006.

Ivy meminta kami menirukan suaranya ketika menyanyikan empat bar intro secara legato. Ia memang hanya membunyikan—mencontohkan—setiap bagian komposisi dan kami menyimaknya. Benar-benar merepotkan. Untunglah kami dipersilakan merekam setiap potongan komposisi. Setiap cord akan dibunyikan oleh orang-orang yang berbeda, sesuai dengan warna suara masing-masing. Yang lebih rumit adalah ketika kami harus menyimak canon dan decrescendo yang dicontohkannya. Kami tak punya panduan matematis dan acuan kekuatan dinamika. Kami benar-benar lelah. Kami terbiasa dengan not balok—partitur. Kami seperti kembali beberapa abad ke belakang: belajar bernyanyi bersama-sama ketika lambang-lambang musik belum ditemukan. Benar-benar aneh!

Namun kami sungguh takjub mendapati hasilnya. Setelah dua bulan terlewati, kami mampu membawakan La Boheme dengan sangat menawan. Kami tak menyangka lagu itu menjadi seperti lagu-lagu klasik pada periode Barok dan Rakoko. Pada bagian chorus, Ivy menjadikan lirik-liriknya seperti hidup karena dinamikanya menjadi fortissisimo dengan canon dan contrapunct yang selalu diakhiri dengan cord miring sehingga pada beberapa bagian, lagu itu terdengar sangat kromatis. Kami seperti menyanyikan Th e Four Sea karya agung musisi klasik Italia Antonio Vivaldi yang hidup pada zaman musik klasik Barok dan Rakoko.

“Aku tak peduli pada Vivaldi atau Beethoven,” ujar Ivy menanggapi kekaguman kami, “sebagaimana tak pedulinya aku apakah komposisi ini lebih mirip dengan Overture-nya Beethoven atau The Four Sea-nya Vivaldi,” lanjutnya.

“Kalian sesekali perlu kuperdengarkan rekaman yang dikirim pamanku di Indonesia. Kalian akan terpesona dengan pembacaan kakawin, tembang karawitan, lagu keroncong, atau cengkok Melayu.”

Kami tak mengerti apa yang ia bicarakan. Ivy memberi rujukan yang tak kami pelajari di kelas-kelas musik.

“Sudahlah!” Ivy menangkap kebingungan kami. “Yang paling penting, kalian merasakan sesuatu yang absurd tiba-tiba merasuki jiwa kalian ketika menyanyikan lagu ini. Kalian adalah Aznavour-Aznavour yang hidup kembali, mengusir badai yang membuat kehidupannya berkabut, suram, dan mengerikan, hingga akhirnya Aznavour memilih untuk kembali kepada-Nya sebagai pilihan terakhir untuk keluar dari kegelapan.”

Sungguh, kata-kata itu membuat kami merinding.

“Lagu ini akan ditutup dengan cord yang terdiri dari do, mi, sol, le, dan re. Do dibunyikan oleh Haas.”

“Suara satunya dengan falsetto?” tanya Haas tak percaya.

“Kalau head-voice, aku akan memilih Hanna.”

***

TEPAT ketika partitur itu kami rampungkan, aku menanyakan kepada Krisbee biodata Ivy.

“Paling tidak, kita harus menuliskan trackrecord pelatih di formulir pendaftaran dan di akhir partitur ini,” ujar Schmidtz sembari melepaskan pena tinta yang dibeli mamanya di Monaco tahun lalu.

Keesokan harinya, jawaban Krisbee membuat kami terdiam.

Ivy tidak bisa membaca not balok!

Ivy tidak bisa menulis partitur!

Ivy tidak bisa memainkan satu alat musik pun!

“Apa yang perlu disesali dari kebodohan yang jenius ini?” ujar Krisbee dengan senyum kemenangan. Mungkin ia lelah selalu kami serang karena memilih pelatih yang kualitas musikalnya tak lebih dari anak-anak yang hanya pandai bernyanyi.

“Siapa yang berani bilang kalau komposisi La Boheme versi Ivy lebih baik dari karya arranger Stimme sebelumnya?”

***

STIMME meraih medali perak dalam kejuaraan vokal grup bergengsi se-Eropa itu. Untuk pertama kalinya kami merasakan tatapan dan jabat tangan Inza dengan senyumnya yang hangat. Kami sungguh tak menyangka wali kota yang tengah menghadiri sebuah konferensi tentang lingkungan hidup di Celtic, masih menyempatkan diri menyaksikan penampilan kami di putaran final. Kami pulang ke Jerman dengan pesawat paling pagi. Kami harus sampai di Munich sebelum pukul sepuluh apabila tidak ingin ketinggalan trem pertama tujuan Gelsenkirchen.

Kami tak menemukan Ivy di rumahnya. Istrinya mengatakan, setelah berbicara dengan salah satu anggota Stimme di telepon usai latihan terakhir kami, suaminya jadi murung dan banyak melamun.

Kami saling tatap. Mencari kambing hitam.

“Aku yang menelepon Ivy,” ujar Krisbee dengan nada menyesal.

“Aku memang bodoh. Aku menanggapi celotehan tak penting Schmidtz tentang track-record pelatih itu. Aku yakin Ivy pasti tersinggung.”

Kami semua menghela napas. Rasa bersalah berhasil menyodokkan gumpalan udara keluar dari kerongkongan kami.

“Pergilah ke Mootseel, sekitar enam kilometer ke barat kota ini,” ujar istrinya. “Sejak menerima telepon dari kalian, menjelang siang Ivy menghadiri kelas musik di samping toko bakery Nyonya Steffy yang terkenal itu. Katanya, dia mau belajar menulis partitur. Dia memang suka bercanda.”

O, bahkan Nyonya Zladek pun tak tahu banyak tentang suaminya.

Kami menyusul Ivy dengan rasa bersalah yang menggumpal. Di balik kaca kelas, Ivy duduk di kursi piano membelakangi kami. Punggungnya basah. Kami tahu ia sangat tegang dan mungkin tertekan memahami tuts-tuts piano di hadapan jemarinya yang kaku.

Kami baru saja menyesatkan Ivy ke jalan partitur yang gelap, jalan yang meruntuhkan anugerah Tuhan yang ia imani diam-diam selama ini, sebelum bertemu kami. (*)





Lubuklinggau,

Mei 2013–Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar